Senin, 11 Desember 2017

PENGARANG, PENYALIN, DAN PENCERITA

PENGARANG, PENYALIN, DAN PENCERITA

1.1  Pokok Bahasan         : Pengarang, Penyalin, dan Pencerita
1.2 Subpokok Bahasan   : 1. Pengarang dan Pembaca
                                            2. Pengarang dan Pencerita
                                            3. Pemilihan Jenis Pencerita dan Efeknya
                                            4. Teori Benisson Gray Tentang Pencerita
                                            5. Hubungan antara Pencerita, Tokoh, dan Pembaca
1.3 Jam Pertemuan         : 2 × 50 menit (satu kali pertemuan)
1.4 Tujuan Umum Pengajaran:
      Mahasiswa memiliki pengetahuan tentang: apa itu pengarang, penyalin, dan pencerita;       mengetahui tentang efek dari pemilihan jenis cerita; dan mengetahui teori Benisson Gray    tentang pencerita.
1.5 Tujuan Khusus Pengajaran
1)      Mahasiswa dapat menjelaskan tentang pengertian pengarang, penyalin dan pencerita
2)      Mahasiswa dapat menjelaskan tentang hubungan pengarang dan pembaca
3)      Mahasiswa dapat menjelaskan tentang hubungan pengarang dan pencerita
4)      Mahasiswa dan menjelaskan tentang efek dari pemilihan jenis cerita
5)      Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan tentang teori Benisson Gray mengenai pencerita
1.6 Materi Pelajaran
1.6.1 Pengarang dan Pembaca
       Karya sastra lama yang digemari atau dihargai tinggi biasanya direkam di dalam bentuk naskah. Teks naskah itu akan disalin berulang-ulang sehingga menimbulkan turunan yang banyak. Di dalam melakukan tugasnya itu, penyalin merasa memiliki kebebasan untuk menambah pada cerita yang disalinnya itu. Mengurangi hal-hal yang dirasanya tidak perlu ada di dalam cerita, dan mengubah cerita di sana sini agar lebih sesuai dengan seleranya atau selera masyarakat. Kolofon syair Kerajaan Bima, misalnya berbunyi sebagai berikut:
       Tamatlah sudah syair ini kepada tarik sanat 1274 al-dar akhir pada empathari bulan Syafar pada hari kamis dewasa itulah kehabisan tulis ini oleh seorang fakir alhakir ismuhu Muhammad Hasan yang tinggal di negeri Bima kampong Melayu peranan, Mengkasar adanya. Syahdan yang menyuruhnya tuan Misor yang tinggal di dalam negeri Bima kampong Benteng adanya.
1.6.2 Pengarang dan Pencerita
       Si pencerita adalah tokoh utama yang bercerita tentang dirinya sendiri dan tentang tokoh-tokoh lain di dalam cerita itu. Misalnya, Hiroko di dalam Namaku Hiroko (Dini, 1977b) adalahtokoh utama yang menjadi pencerita. Boleh jadi si pencerita adalah tokoh bawahan; misalnya Alimin di dalam Tuyed (Rusuanto, 1978) adalah tokoh bawahan yang dekat dengan tokoh utama. Di dalam kedua hal itu si pencerita ada di dalam cerita. Kemungkinan ketiga bahwa si pencerita ada di luar cerita; ia bukan tokoh cerita itu. Misalnya, pencerita di dalam Salah Asuhan (Moeis, 1981).
       Apakah yang bercerita itu bukan si pengarang? Bukankah pengarang yang empunya cerita; Jadi, dialah yang bercerita? Dengan sendirinya pengarang itu juga pencerita. Demikianlah anggapan orang pada mulanya. Setelah ditelaah lebih cermat, ternyata tidak selalu pencerita dan pengarang itu identik. Di dalam outobiografi seperti Hikayat Abdullah memang benar pengarang sendiri yang bercerita. Akan tetapi, bagaimana dengan novel karya NH. Dini Pada Sebuah Kapal (1985); disitu ada dua orang pencerita, yaitu Sri pada bagian I dan Michael pada bagian II. Jadi, pengarang Dini identik dengan siapa? Dini pun mengarang novel-novel lainnya; misalnya Namaku Hiroko (Dini, 1977b) dengan tokoh utama merangkap pnecerita Hiroko, Keberangkatan (Dini, 1977a) dengan tokoh utama merangkap pencerita Elisa Frissat. Jadi, Dini identik dengan siapa?
       Ada alasan lain membedakan pengarang dan pencerita. Tidak dapat disangkal bahwa sebuah cerita rekaan adalah ciptaan pengarang, dan wujudnya dipengaruhi oleh pengalaman hidup pengarang. Namun, apa yang ada di dalam sebuah cerita rekaan tidak sama dengan apa yang ada di dalam kehidupan seorang wanita dengan wanita itu sebagai pencerita, misalnya Pengakuan Pariyem dengan pengarangnya Linus Surtadi (1981). Sebaliknya, seorang pengarang wanita dapat mengetengahkan kisah hidup seorang pria seperti yang dilakukan oleh NH. Dini di dalam Pada Sebuah Kapal (1983).
       Cerita rekaan adalah yang direka tokoh-tokohnya. Alurnya, latar rekaan semata-mata, juga penceritanya. Pencerita diciptakan pengarang dengan tugas membawakan cerita yang disusunnya. Pemgarang bahkan dapat menciptakan lebih dari seorang pencerita di dalam cerita rekaannya. Di dalam Raomanen (Katopo, 9171), Marianne Katopnou menghadirkan tiga orang pencerita; Manen dan Monan yang berada di dalam cerita seorang pencerita tak bernama yang ada di luar cerita.
1.      Pencerita Akuan
       Di dalam autobiografi selalu terdapat pencerita akuan. Di dalam kesusastraan Indonesia agaknya Abdullah binAbdul Kadir Manshi yang mula-mula menggunakan pencerita akuan, yaitu di dalam karyanya Hikayat Abdullah (1963). Di dalam Tuyed (Rasuanto, 1978) kita bertemu dengan pencerita akuan Alimin; ia tokoh yang bercerita kepada pembaca. Di dalam Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati (Djamin, 1976) kita bertemu dengan dua orang pencerita akuan yang berganti-ganti membawakan cerita, yaitu Fuyuko dan Talib. Fuyuko sebagai pencerita ikut berperan di dalam cerita, bahkan menjadi tokoh utama dalam cerita. Ia disebut pencerita akuan sertaan. Adapun Talib tidakmikut “Main” di dalam cerita, melainkan lebih berperan sebagai pendengar atau penonton. Antara dia dan tokoh-tokoh seolah-olah ada jarak. Pencerita semacam ini disebut pencerita akuan taksertaan adalah kadar keterlibatannya dalam cerita.
       Di dalam novel Atheis (Miharja, 1976) kita bertemu dengan dua pencerita akuan juga, yang seorang menggunakan kata aku, tokoh Hasan dan merupakan pencerita akuan sertaan. Ia berperan penting di dalam cerita bahkan menjadi tokoh utama cerita seorang lagi mengacu pada dirinya sendiri dengan kata saya.
       Pencerita akuan banyak digunakan dalam karya sastra modern karena subjektivitasnya menimbulkan suasana akrab. Pencerita terlalu langsung membukakan diri kepada pembaca sehingga pembaca merasa terlibat lanhsung di dalam permasalahan atau peristiwa yang dialami tokoh yang bercerita itu. Bagi tokoh yang kontemplatif suka merenung, berpikir-pikir, penuh kebimbangan dan perjuangan batin, kisahan akuan yang paling tepat.


2.      Penceritan Diaan
      Pencerita diaan dapat dibedakan atas beberapa tipe berdasarkan kebebasan gerak si pencerita.
a.       Penceritaan diaan serba tau, yaitu oencerita diaan yang tau segala sesuatu tentang semua pelaku/tokoh dan persitiwa yang berlaku dalam cerita. Ia bebas bergerak di dalam ruang dan waktu. Dapat menyoroti tokoh manapun serta mengisahkan apa yang dianggap perlu tentang percakapan dan akuan para tokoh.
Penceritaan diaan serba tau ini ada yang tidak sekedar berkisah; ia juga secara bebas member komentar dan serta menyampaikan penilaiannya tentang sikap tindakan dan kehendak tokoh serta menyatakan pandangannya sendiri tentang hidup ini adalakalanya ia bertindak ekstrem dengan memotong kisahan yang sedang dibawakannya untuk menyisipkan jejangan, peringatan, atau sindiran yang bersifat moral/falsafah. Interaksi semacam itu bukannya harus ada. Di dalam karya sastra modern jarang digunakan.
b.      Namun, ada juga pencerita diaan yang lebih objektif dan impersonal di dalam bercerita. Ia membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatic yang dapat diamatinya kapan saja tanpa menggunakan kewenangannya memasuki pikiran dan batin tokoh. Pencerita diaan seperti ini disebut pencerita diaan terbatas.

1.6.3        Pemilihan Jenis Pencerita dan Efeknya
       Kedua sudut pandang ini/sudut pandang mencerita akuan dan sudut pandang pencerita diaan tentu ada segi baik dan buruknya. Pencerita akuan hanya dapat menyampaikan apa yang diketahui dan dialami sendiri saja sama anggapan dan kesimpulan dia sendiri. Keuntungannya ialah bahwa hubungan di antara pencerita, cerita dan pembaca menjadi akrab. Tokoh langsung bercerita kepada pembaca tanpa merasa terganggu oleh adanya orang lain yang bertindak sebagai perantara.
       Pencerita diaan menghasilkan kisahan yang lebih bebas sifatnya. Karena pencerita berada di luar cerita, dengan bebas ia dapat berpindah kesana kemari, menyoroti tokoh-tokoh dan lakuan mereka dari segala sudut.
Pencerita diaan bersifat terbatas ketika berkisah tentang Monan, Anton, dan tokoh-tokoh lain kecuali Manen:
“Pertemuan yang kurang menggembirakan” kata Anton ketika mereka keluar dari kedai satu itu. Anton melirik kepada Manen.
(Katopo, 1977: 50)
 “Aku turun di Jalan Riau saja Non” kata Anton tiba-tiba dalam mobil. “Baru kuingat masih ada urusanku yang belum selesai.
(Katopo, 1977: 36)
Monan berdiri di hadapannya. Memegang tangannya. “Dingin betul tanganmu…kau sakit? Ada apa sebetulnya?” pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan seraya menoleh ke belakang, kea rah rumah itu.
(Katopo, 1977: 69)
Pencerita diaan bersifat serba tau ketika berkisah tentang Manen:
“Ia takut kepergok ibunya, pikir Manen. Lucu… orang ini sungguh lucu. Sudah dewasa, sudah bekerja, sudah segala-galanya… dan masih takut kepergok ibunya waktu berbicara dengan pacarnya.”
(Katopo, 1977: 69)
“Aku ada perlu denganmu, Monang. Ada yang hendak kubicarakan… …” Suara Manen lesu. Rasanya lidahnya berat sekali, seakan-akan otot-otonya semua sudah melebar menjadi air. Aneh sekali perasaannya barangkali dia sakit.
(Katopo, 1977: 69)
        Kasihan yang serba tau tentang Manen ini membedakan Manen dari tokoh-tokoh lainnya dan mendukung peranannya sebagai tokoh utama cerita.
        Pembawaaan cerita dengan sudut pandang pencerita yang berganti-ganti kita dapati juga di dalam Atheis (Miharja, 1976). Di bagian satu kita jumpai saya yaiut pencerita yang bersama-sama Kartini dan Rusli mencari keterangan Ihwal Hasan. Saya di situ terlibat di dalam cerita sebagai tokoh bawahan; ia menjadi pencerita akuan sertaan. bagian dua mengisahkan pertemuan saya dengan Hasan, saya juga masih menjadi pencerita akuan sertaan. Pertemuan itu berakhir dengan penyerahan naskah autobiografi Hasan kepada saya. Di bagian tiga sampai dengan bagian dua belas pencerita bukan lagi saya melainkan aku yaitu tokoh Hasan sebagai tokoh utama. Sekarang Hasan menjadi pencerita  akuan sertaan. Di dalam bagian tiga belas ini khususnya bab 4 dan bab 5 terlihat perubahan fungsi saya dari pencerita akuan sertaan menjadi pencerita akuan taksertaan. Artinya saya mengundurkan diri dalam cerita; ia tidak lagi terlibat di dalam cerita dan menjadi seorang pengamat. Di dalam bagia empat belas semakin jelas pencerita itu berada diluar cerita, dan tampak perubahan fungsinya dari pencerita akuan menjadi pencerita diaan. Jelasnya, pencerita sekarang tidak lagi berada di dalam cerita. Pencerita itu akhirnya mengacu kepada tokoh-tokoh di dalam cerita dengan kata ganti dia. Keadaan ini dimungkinkan oleh sifat pencerita saya yang anonym. Keanoniman ini juga yang menyebabkan orang sering menyamakan pencerita saya itu dengan pengarang novel Atheis.

1.6.4        Teori Benisson Gray Tentang Pencerita
       Yang agak tegas mengemukakan teori tentang pengarang dan pencerita ialah Bennison Gray. Di dalam bukunya yang berjudul The Phenomenon of Literarure. Gray membedakan pengarang sebagai unsure ekstrinsik dan pencerita sebagai unsur intrinsic sebuah karya sastra. Selanjutnya, Gray membedakan pencerita orang pertama (First Person Narrator) dan pencerita orang ketiga (Third Person Narrator) (Gray, 1975: 328-340). Pencerita orang pertama dibaginya menjadi orang pertama sertaan (First Person-Participant) dan orang pertama tak sertaan (First Person Nomparticipant) (Gray, 1975: 330-335) pencerita orang ketiga dibaginya menjadi pencerita orang ketiga serba tahu (Third Person Omniscient Narrator) dan pencerita orang ketiga terbatas (Restricted Third Person Narrator) (Gray, 1975: 337-339). Yang terakhir ini hanya mengamati tokoh dan peristiwa dari luar cerita (Gray, 1976: 328-340).

1.6.5        Hubungan Antara Pencerita, Tokoh, dan Pembaca
       Dengan singkat dapat dirasakan bahwa ada 3 kepentingan hubungan pencerita dengan tokoh, yaitu pencerita lebih tahu daripada tokoh, pencerita sama pengetahuannya dengan tokoh dan pencerita pula kurang pengetahuannya daripada tokoh.
       Baik pencerita diaan serba tahu maupun penerita diaan terbatas berada diluar cerita. Terutama didalam hal pencerita diaan serba tahu pembaca tetap sadar bahwa seorang yang berada di luar cerita mengisahkan apa yang berlaku di dalam cerita.
       Adapun penceritaan dengan menggunakan sudut pandang tokoh yang ada dalam cerita membuat pembaca seolah-olah berperan serta, ikut mengalami peristiwa-perstiwa yang dibebankan kepadanya.

1.7      Evaluasi
1)      Bagaimana hubungan pengarang, penyalin, dan pencerita?
2)      Apa efek dari pemilihan jenis pencerita?
3)      Kapan penceritaan Akuan maupun pecerita dian digunakan?
4)      Dimana letak perbedaan antara pengarang dan pencerita?
5)      Bagaimana penjelasan teori tentang pengaran dan pencerita menurut Benisson Gray?

1.8      Kepustakaan
Juanda. 2006. Pengkajian Prosa Fiksi. Makassar: FBS Universitas Negeri Makassar













Tidak ada komentar:

Posting Komentar