PENGARANG, PENYALIN, DAN PENCERITA
1.1 Pokok Bahasan :
Pengarang, Penyalin, dan Pencerita
1.2 Subpokok
Bahasan : 1. Pengarang dan Pembaca
2. Pengarang dan Pencerita
3. Pemilihan Jenis Pencerita dan Efeknya
4. Teori Benisson Gray Tentang Pencerita
5. Hubungan antara Pencerita, Tokoh, dan
Pembaca
1.3 Jam
Pertemuan : 2 × 50 menit (satu kali pertemuan)
1.4 Tujuan Umum
Pengajaran:
Mahasiswa
memiliki pengetahuan tentang: apa itu pengarang, penyalin, dan pencerita; mengetahui
tentang efek dari pemilihan jenis cerita; dan mengetahui teori Benisson Gray tentang
pencerita.
1.5 Tujuan
Khusus Pengajaran
1)
Mahasiswa dapat
menjelaskan tentang pengertian pengarang, penyalin dan pencerita
2)
Mahasiswa dapat
menjelaskan tentang hubungan pengarang dan pembaca
3)
Mahasiswa dapat
menjelaskan tentang hubungan pengarang dan pencerita
4)
Mahasiswa dan
menjelaskan tentang efek dari pemilihan jenis cerita
5)
Mahasiswa dapat
mengetahui dan menjelaskan tentang teori Benisson Gray mengenai pencerita
1.6
Materi Pelajaran
1.6.1
Pengarang dan Pembaca
Karya sastra lama yang
digemari atau dihargai tinggi biasanya direkam di dalam bentuk naskah. Teks
naskah itu akan disalin berulang-ulang sehingga menimbulkan turunan yang
banyak. Di dalam melakukan tugasnya itu, penyalin merasa memiliki kebebasan
untuk menambah pada cerita yang disalinnya itu. Mengurangi hal-hal yang
dirasanya tidak perlu ada di dalam cerita, dan mengubah cerita di sana sini
agar lebih sesuai dengan seleranya atau selera masyarakat. Kolofon syair Kerajaan
Bima, misalnya berbunyi sebagai berikut:
Tamatlah sudah syair ini kepada tarik
sanat 1274 al-dar akhir pada empathari bulan Syafar pada hari kamis dewasa
itulah kehabisan tulis ini oleh seorang fakir alhakir ismuhu Muhammad Hasan
yang tinggal di negeri Bima kampong Melayu peranan, Mengkasar adanya. Syahdan
yang menyuruhnya tuan Misor yang tinggal di dalam negeri Bima kampong Benteng
adanya.
1.6.2
Pengarang dan Pencerita
Si pencerita adalah
tokoh utama yang bercerita tentang dirinya sendiri dan tentang tokoh-tokoh lain
di dalam cerita itu. Misalnya, Hiroko di dalam Namaku Hiroko (Dini,
1977b) adalahtokoh utama yang menjadi pencerita. Boleh jadi si pencerita adalah
tokoh bawahan; misalnya Alimin di dalam Tuyed (Rusuanto, 1978) adalah
tokoh bawahan yang dekat dengan tokoh utama. Di dalam kedua hal itu si
pencerita ada di dalam cerita. Kemungkinan ketiga bahwa si pencerita ada di
luar cerita; ia bukan tokoh cerita itu. Misalnya, pencerita di dalam Salah
Asuhan (Moeis, 1981).
Apakah yang bercerita
itu bukan si pengarang? Bukankah pengarang yang empunya cerita; Jadi, dialah
yang bercerita? Dengan sendirinya pengarang itu juga pencerita. Demikianlah
anggapan orang pada mulanya. Setelah ditelaah lebih cermat, ternyata tidak
selalu pencerita dan pengarang itu identik. Di dalam outobiografi seperti Hikayat
Abdullah memang benar pengarang sendiri yang bercerita. Akan tetapi,
bagaimana dengan novel karya NH. Dini Pada Sebuah Kapal (1985); disitu
ada dua orang pencerita, yaitu Sri pada bagian I dan Michael pada bagian II.
Jadi, pengarang Dini identik dengan siapa? Dini pun mengarang novel-novel
lainnya; misalnya Namaku Hiroko (Dini, 1977b) dengan tokoh utama
merangkap pnecerita Hiroko, Keberangkatan (Dini, 1977a) dengan tokoh
utama merangkap pencerita Elisa Frissat. Jadi, Dini identik dengan siapa?
Ada alasan lain
membedakan pengarang dan pencerita. Tidak dapat disangkal bahwa sebuah cerita
rekaan adalah ciptaan pengarang, dan wujudnya dipengaruhi oleh pengalaman hidup
pengarang. Namun, apa yang ada di dalam sebuah cerita rekaan tidak sama dengan
apa yang ada di dalam kehidupan seorang wanita dengan wanita itu sebagai
pencerita, misalnya Pengakuan Pariyem dengan pengarangnya Linus Surtadi
(1981). Sebaliknya, seorang pengarang wanita dapat mengetengahkan kisah hidup
seorang pria seperti yang dilakukan oleh NH. Dini di dalam Pada Sebuah Kapal
(1983).
Cerita rekaan adalah
yang direka tokoh-tokohnya. Alurnya, latar rekaan semata-mata, juga
penceritanya. Pencerita diciptakan pengarang dengan tugas membawakan cerita
yang disusunnya. Pemgarang bahkan dapat menciptakan lebih dari seorang
pencerita di dalam cerita rekaannya. Di dalam Raomanen (Katopo, 9171), Marianne
Katopnou menghadirkan tiga orang pencerita; Manen dan Monan yang berada di
dalam cerita seorang pencerita tak bernama yang ada di luar cerita.
1.
Pencerita
Akuan
Di dalam autobiografi selalu terdapat
pencerita akuan. Di dalam kesusastraan Indonesia agaknya Abdullah binAbdul
Kadir Manshi yang mula-mula menggunakan pencerita akuan, yaitu di dalam
karyanya Hikayat Abdullah (1963). Di dalam Tuyed (Rasuanto, 1978)
kita bertemu dengan pencerita akuan Alimin; ia tokoh yang bercerita kepada
pembaca. Di dalam Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati (Djamin, 1976) kita
bertemu dengan dua orang pencerita akuan yang berganti-ganti membawakan cerita,
yaitu Fuyuko dan Talib. Fuyuko sebagai pencerita ikut berperan di dalam cerita,
bahkan menjadi tokoh utama dalam cerita. Ia disebut pencerita akuan sertaan.
Adapun Talib tidakmikut “Main” di dalam cerita, melainkan lebih berperan
sebagai pendengar atau penonton. Antara dia dan tokoh-tokoh seolah-olah ada
jarak. Pencerita semacam ini disebut pencerita akuan taksertaan adalah kadar
keterlibatannya dalam cerita.
Di dalam novel Atheis (Miharja, 1976) kita bertemu dengan
dua pencerita akuan juga, yang seorang menggunakan kata aku, tokoh Hasan dan
merupakan pencerita akuan sertaan. Ia berperan penting di dalam cerita bahkan
menjadi tokoh utama cerita seorang lagi mengacu pada dirinya sendiri dengan
kata saya.
Pencerita akuan banyak digunakan dalam karya sastra modern karena
subjektivitasnya menimbulkan suasana akrab. Pencerita terlalu langsung
membukakan diri kepada pembaca sehingga pembaca merasa terlibat lanhsung di
dalam permasalahan atau peristiwa yang dialami tokoh yang bercerita itu. Bagi
tokoh yang kontemplatif suka merenung, berpikir-pikir, penuh kebimbangan dan
perjuangan batin, kisahan akuan yang paling tepat.
2.
Penceritan
Diaan
Pencerita diaan dapat dibedakan atas
beberapa tipe berdasarkan kebebasan gerak si pencerita.
a.
Penceritaan
diaan serba tau, yaitu oencerita diaan yang tau segala sesuatu tentang semua
pelaku/tokoh dan persitiwa yang berlaku dalam cerita. Ia bebas bergerak di
dalam ruang dan waktu. Dapat menyoroti tokoh manapun serta mengisahkan apa yang
dianggap perlu tentang percakapan dan akuan para tokoh.
Penceritaan
diaan serba tau ini ada yang tidak sekedar berkisah; ia juga secara bebas
member komentar dan serta menyampaikan penilaiannya tentang sikap tindakan dan
kehendak tokoh serta menyatakan pandangannya sendiri tentang hidup ini
adalakalanya ia bertindak ekstrem dengan memotong kisahan yang sedang
dibawakannya untuk menyisipkan jejangan, peringatan, atau sindiran yang
bersifat moral/falsafah. Interaksi semacam itu bukannya harus ada. Di dalam
karya sastra modern jarang digunakan.
b. Namun, ada juga pencerita diaan yang
lebih objektif dan impersonal di dalam bercerita. Ia membatasi diri dengan
memaparkan atau melukiskan lakuan dramatic yang dapat diamatinya kapan saja
tanpa menggunakan kewenangannya memasuki pikiran dan batin tokoh. Pencerita
diaan seperti ini disebut pencerita diaan terbatas.
1.6.3
Pemilihan Jenis Pencerita dan
Efeknya
Kedua sudut pandang ini/sudut
pandang mencerita akuan dan sudut pandang pencerita diaan tentu ada segi baik
dan buruknya. Pencerita akuan hanya dapat menyampaikan apa yang diketahui dan
dialami sendiri saja sama anggapan dan kesimpulan dia sendiri. Keuntungannya
ialah bahwa hubungan di antara pencerita, cerita dan pembaca menjadi akrab.
Tokoh langsung bercerita kepada pembaca tanpa merasa terganggu oleh adanya
orang lain yang bertindak sebagai perantara.
Pencerita diaan menghasilkan kisahan yang lebih bebas sifatnya. Karena
pencerita berada di luar cerita, dengan bebas ia dapat berpindah kesana kemari,
menyoroti tokoh-tokoh dan lakuan mereka dari segala sudut.
Pencerita
diaan bersifat terbatas ketika berkisah tentang Monan, Anton, dan tokoh-tokoh
lain kecuali Manen:
“Pertemuan
yang kurang menggembirakan” kata Anton ketika mereka keluar dari kedai satu
itu. Anton melirik kepada Manen.
(Katopo, 1977: 50)
“Aku turun di Jalan Riau saja Non” kata Anton
tiba-tiba dalam mobil. “Baru kuingat masih ada urusanku yang belum selesai.
“
“
(Katopo,
1977: 36)
Monan
berdiri di hadapannya. Memegang tangannya. “Dingin betul tanganmu…kau sakit?
Ada apa sebetulnya?” pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan seraya menoleh ke
belakang, kea rah rumah itu.
(Katopo, 1977: 69)
Pencerita diaan bersifat serba tau
ketika berkisah tentang Manen:
“Ia
takut kepergok ibunya, pikir Manen. Lucu… orang ini sungguh lucu. Sudah dewasa,
sudah bekerja, sudah segala-galanya… dan masih takut kepergok ibunya waktu
berbicara dengan pacarnya.”
(Katopo, 1977: 69)
“Aku
ada perlu denganmu, Monang. Ada yang hendak kubicarakan… …” Suara Manen lesu.
Rasanya lidahnya berat sekali, seakan-akan otot-otonya semua sudah melebar
menjadi air. Aneh sekali perasaannya barangkali dia sakit.
(Katopo, 1977: 69)
Kasihan yang serba tau tentang Manen
ini membedakan Manen dari tokoh-tokoh lainnya dan mendukung peranannya sebagai
tokoh utama cerita.
Pembawaaan cerita dengan sudut pandang
pencerita yang berganti-ganti kita dapati juga di dalam Atheis (Miharja,
1976). Di bagian satu kita jumpai saya yaiut pencerita yang bersama-sama
Kartini dan Rusli mencari keterangan Ihwal Hasan. Saya di situ terlibat di
dalam cerita sebagai tokoh bawahan; ia menjadi pencerita akuan sertaan. bagian
dua mengisahkan pertemuan saya dengan Hasan, saya juga masih menjadi pencerita
akuan sertaan. Pertemuan itu berakhir dengan penyerahan naskah autobiografi
Hasan kepada saya. Di bagian tiga sampai dengan bagian dua belas pencerita
bukan lagi saya melainkan aku yaitu tokoh Hasan sebagai tokoh utama. Sekarang
Hasan menjadi pencerita akuan sertaan.
Di dalam bagian tiga belas ini khususnya bab 4 dan bab 5 terlihat perubahan
fungsi saya dari pencerita akuan sertaan menjadi pencerita akuan taksertaan.
Artinya saya mengundurkan diri dalam cerita; ia tidak lagi terlibat di dalam
cerita dan menjadi seorang pengamat. Di dalam bagia empat belas semakin jelas
pencerita itu berada diluar cerita, dan tampak perubahan fungsinya dari
pencerita akuan menjadi pencerita diaan. Jelasnya, pencerita sekarang tidak
lagi berada di dalam cerita. Pencerita itu akhirnya mengacu kepada tokoh-tokoh
di dalam cerita dengan kata ganti dia. Keadaan ini dimungkinkan oleh sifat
pencerita saya yang anonym. Keanoniman ini juga yang menyebabkan orang sering
menyamakan pencerita saya itu dengan pengarang novel Atheis.
1.6.4
Teori Benisson Gray Tentang
Pencerita
Yang agak tegas
mengemukakan teori tentang pengarang dan pencerita ialah Bennison Gray. Di
dalam bukunya yang berjudul The Phenomenon of Literarure. Gray
membedakan pengarang sebagai unsure ekstrinsik dan pencerita sebagai unsur
intrinsic sebuah karya sastra. Selanjutnya, Gray membedakan pencerita orang
pertama (First Person Narrator) dan pencerita orang ketiga (Third
Person Narrator) (Gray, 1975: 328-340). Pencerita orang pertama dibaginya
menjadi orang pertama sertaan (First Person-Participant) dan orang
pertama tak sertaan (First Person Nomparticipant) (Gray, 1975: 330-335)
pencerita orang ketiga dibaginya menjadi pencerita orang ketiga serba tahu (Third
Person Omniscient Narrator) dan pencerita orang ketiga terbatas (Restricted
Third Person Narrator) (Gray, 1975: 337-339). Yang terakhir ini hanya
mengamati tokoh dan peristiwa dari luar cerita (Gray, 1976: 328-340).
1.6.5
Hubungan Antara Pencerita, Tokoh,
dan Pembaca
Dengan singkat dapat
dirasakan bahwa ada 3 kepentingan hubungan pencerita dengan tokoh, yaitu
pencerita lebih tahu daripada tokoh, pencerita sama pengetahuannya dengan tokoh
dan pencerita pula kurang pengetahuannya daripada tokoh.
Baik pencerita diaan
serba tahu maupun penerita diaan terbatas berada diluar cerita. Terutama
didalam hal pencerita diaan serba tahu pembaca tetap sadar bahwa seorang yang
berada di luar cerita mengisahkan apa yang berlaku di dalam cerita.
Adapun penceritaan
dengan menggunakan sudut pandang tokoh yang ada dalam cerita membuat pembaca
seolah-olah berperan serta, ikut mengalami peristiwa-perstiwa yang dibebankan
kepadanya.
1.7
Evaluasi
1) Bagaimana hubungan pengarang,
penyalin, dan pencerita?
2) Apa efek dari pemilihan jenis pencerita?
3) Kapan penceritaan Akuan maupun
pecerita dian digunakan?
4) Dimana letak perbedaan antara pengarang
dan pencerita?
5) Bagaimana penjelasan teori tentang pengaran
dan pencerita menurut Benisson Gray?
1.8
Kepustakaan
Juanda. 2006. Pengkajian Prosa Fiksi. Makassar: FBS
Universitas Negeri Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar