Senin, 11 Desember 2017

LAPORAN HASIL ANALISIS KRITIK TEKS CERITA RAKYAT CIUNG WANARA DENGAN PENDEKATAN METODE LANDASAN

LAPORAN HASIL ANALISIS KRITIK TEKS
CERITA RAKYAT CIUNG WANARA DENGAN PENDEKATAN METODE LANDASAN




                                                                                                                                              

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2

ISFAN FAJAR
SITTI SARPIA SYAM
RESKY SYAMSUL
APRIAL SUBHAN
ADE ELVIRA SURYANI


BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
BAHASA DAN SASTRA
UNIERSITAS NEGERI MAKASSAR
2017





I.            PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
       Naskah dapat dipandang sebagai dokomen budaya, karena naskah berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan dan pengetahuan sejarah, serta budaya bangsa atau kelompok sosial budaya tertentu. Naskah merupakan salah satu warisan budaya leluhur bangsa atau dapat juga disebut sebagai warisan nenek moyang kita yang diturunkan secara turun temurun sejak dulu sampai sekarang ini. Ikram (1981: 76) mengungkapkan bahwa naskah merupakan sumber kebudayaan daerah yang tak ternilai harganya bagi orang-orang Indonesia.
       D. Edward (2002: 3) berpendapat bahwa “naskah adalah semua tulisan tangan peninggalan nenek moyang pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan”. Baried(19914: 54) berpendapat bahwa “naskah adalah hasil tujuan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan erasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau”. Oleh karena itu, naskah merupakan dokumen bangsa yang paling menarik untuk digali dan dikaji bagi para peneliti kebudayaan lama karena memberikan informasi luas berupa sejarah dan berbagai ilmu dibandingkan peninggalan yang lainnya.
      Naskah perlu dilestarikan dan dijaga keutuhannya karena di dalamnya terdapat informasi penting yang harus diketahui oleh semua orang pada generasi yang akan datang. Dalam upaya pelestarian, penyelamatan dan pemanfaatan isi teks naskah yang kebanyakan masyarakat menganggapnya sebagai barang kuno, maka pada kesempatan kali ini kami berupaya untuk menyajikan sebuah suntingan teks yang berjudul naskah Ciung Wanara.
       Naskah Ciung Wanara dipilih menjadi objek penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan, di antaranya: merupakan salah satu legenda yang ada di Indonesia, naskah ini pernah di-film-kan pada tahun 2000-an, banyaknya pesan moral dalam naskah tersebut, dan banyaknya versi cerita dari naskah Ciung Wanara.
B.     Rumusan Masalah    
1.      Bagaimanakah versi cerita yang paling mendekati cerita asli dari naskah Ciung Wanara?
2.      Penyimpangan apa saja yang terdapat pada naskah Ciung Wanara yang disalin?




II.            Kajian Literatur
A.    Metode Analisis
       Secara mendasar, metode penelitian ini berpankal pada penggunaan metode landasan (legger). Penggunaan metode tersebut diharapkan dapat memaparkan berbagai bukti/fakta yang terdapat pada teks Ciung Wanara melalui tahap kajian kritik teks. Metode ini diterapkan apabila menurut tafsiran ada satu atau segolongan naskah yang unggul kualitasnya dibandingkan dengan naskah-naskah yang diperiksa dari sudut pandang bahasa, kesastraan, sejarah, dan lain sebagainya sehingga dapat dinyatakan sebagai naskah yang mengandung paling banyak bacaan yang baik. Oleh karena itu, naskah ini dipandang paling baik untuk jadikan landasan atau induk teks atau edisi. Varian-variannya hanya digunakan sebagai pelengkap atau penunjang.
       Menurut Sudardi metode landasan ialah penyuntingan dengan mengambil satu naskah yang dianggap paling baik kualitasnya. Naskah yang dianggap paling baik diambil sebagai dasar suntingan, sementara naskah-naskah lainnya hanya sebagai penunjang bila ada hal-hal yang meragukan.
      Pemilihan dan penentuan naskah yang mengandung bacan yang baik dilakukan berdasarkan berbagai kriteria, antara lain usia naskah. Bila terdapat naskah tertua, perlu mendapat perhatian, perhitungan, dan diprioritaskan. Akan tetapi, tidak harus selalu naskah tertua yang dipilih. Perlu juga diperhatikan aspek-aspek penampilan dari berbagai segi, baik dari segi bahasa, kejelasannya (tidak terdapat kerusakan yang mengganggu bacaannya), dan kelengkapan informasi yang dikandungnya (seperti keterangan naman pengarang, tempat, dan tanggal penulisannya).
      Metode landasan dipakai apabila menurut tafsiran nilai naskah jelas berbeda, sehingga ada satu atau sekolompok naskah yang menonjol kualitasnya. Kalau semua uraian sudah diperiksa, baik dari sudut bahasa, sastra, sejarah, dan naskah yang mempunyai bacaan yang baik dengan jumlah yang besar, dapat dianggap naskah yang terbaik dan dapat dijadikan landasan atau teks dasar (Robson, 1978: 36)  
B.     Naskah yang Dianalisis
       Ciung Wanara adalah legenda di kalangan orang Sunda di Indonesia. Cerita rakyat ini menceritakan legenda kerajaan Sunda Galuh, asal muasal nama Sungai Pamali serta menggambarkan hubungan budaya antara orang Sunda dan Jawa yang tinggal di bagian provinsi Jawa Tengah (Patimah, 2000: )


III.            Metode Analisis
1.      Sumber Data-Data Naskah
       Data dalam penelitian/analisis ini adalah data bahasa tulisan dan lisan. Data tulisan yang bersumber dari buku bacaan yang kami ambil dari Perpustakaan Daerah Makasar dan tulisan yang kami ambil dari internet. Sebagai data tambahan (lisan), kami mewawancari beberapa narasumber yang berasal dari daerah Jawa Barat. Kami juga merekam hasil wawancara kami, yang kemudian menjadi data yang bisa menambah pengetahuan kami mengenai naskah yang kami analisis.
2.      Tehnik Pengumpulan Data
Studi kepustakaan, teknik baca dan catat, wawancara.
3.      Metode Analisis
Metode yg digunakan dalam analisis kritik teks cerita rakyat Ciung Wanara adalah metode landasan (Legge).
4.      Langkah-Langkah Kritik Teks yang Digunakan
a.       Pencatatan dan pengumpulan naskah
       Jika telah menentukan untuk meneliti suatu naskah, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencatat naskah dan teks cetakan yang berjudul sama atau berisi cerita yang sama yang termuat dalam buku di perpustakaan.
       Untuk mendapatkan bahan penelitian yang lengkap, perlu dikumpulkan ulasan-ulasan mengenai teks naskah itu seluruh maupun sebagiannya.
b.      Meresensi naskah
       Setelah mencatat dan mengumpulkan naskah yang berjudul sama dan bersisi cerita yang sama, langkah selanjutnya adalah meresensi naskah yang telah didapat. Sebelum meresensi, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, antara lain: Membaca buku yang akan diresensi secara menyeluruh, cermat, dan teliti; Menandai bagian-bagian buku yang memerlukan perhatian khusus dan menentukan bagian-bagian khusus yang akan dikutip sebagai data acuan; dan membuat sinopsis atau inti sari dari buku yang akan diresensi. Setelah beberapa tahapan tersebut telah dilakukan, langkah terakhir adalah meresensi naskah tersebut. Hasil resensi tersebut lebih memudahkan untuk melakukan perbanding antara naskah satu dan naskah yang lainnya.
c.       Perbandingan
      Langkah selanjutnya adalah membandingkan hasil resensi yang satu dengan yang lainnya. Perbandingan dilakukan untuk menentukan persamaan dan perbedaan pada naskah yang ada, baik dari segi struktur (judul, tokoh, dan rangkaian peristiwa), isi teks cerita, dan gaya bahasa (kata, istilah, dan ungkapan).
      Hasil dari perbandingan teks yang dilakukan dapat dijadikan kesimpulan dan pemilihan naskah yang dinggap paling mendekati aslinya.
IV.            Hasil Analisis dan Pembahasan
Data I
Naskah ini kami jadikan landasan sebab naskah ini paling unggul dibandingkan dengan naskah yang lainnya, baik dari segi bahasa maupun kelengkapan peristiwa yang terjadi pada cerita tersebut. Ditinjau dari sudut;
Bahasa
Bahasa yang digunakan merupakan bahasa zaman dahulu. Dalam hal ini banyak dijumpai kata yang sudah tidak digunakan pada saat ini. Dengan kata lain, beberapa kata dalam data tersebut sudah disempurnkan.
Misalnya kata: dari kedua permisuri: keduanya tidak lagi berdatang bulan.
karena ia tak kebetulan, kandaga,
Beberapa kata yang terdapat pada data I juga sangat erat hubungannya dengan kerjaan. Misalnya: adinda, raja, permaisuri, dayang, patih, putranda, titah, gusti, hamba, ujang.

Dari sudut kelengkapan peristiwa
Kehamilan dua istri Prabu Barma Wijaya Kusumah; Dewi pangrenyep melahirkan pada usia kandungan Sembilan bulan; Pohaci Naganingrum melahirkan pada usia kehamilan tiga belas bulan; Dewi Pangrenyep menukar bayi Pohaci Naganingrum dengan seekor anjing, lalu membuang bayi Pohaci Naganingrum yang dimasukkan ke dalam kandaga di sebuah sungai; titah Raja untuk membunuh Pohaci Naganingrum di tengah hutan dan membawakan kepalanya sebagai bukti; Lengser tidak membunuh Pohaci Naganingrum, malahan membawanya ke kampung halaman Lengser untuk tinggal disana sembari menunggu putranya menjemputnya kelak; kebohongan Lengser kepada Raja dengan mengatakan bahwa Pohaci Naganingrum tidak selamat karena masuk ke daerah Bojong Galuh; mimpi Nini bulan jatuh di pangkuannya, lalu menemukan bayi dan sebutir telur yang berada di dalam kandaga yang masuk ke dalam badodon Aki; pemberian nama Ciung Wanara;
Kutipan:
Dalam waktu yang hampir bersamaan, baginda Prabu Barma Wijaya Kusumah menerima sembah yang menggembirakan dari kedua permisuri: keduanya tidak lagi berdatang bulan.

Sembilan bulan dilalui dengan tentram dan penuh harap. Dan pabila saatnya telah tiba, maka Dewi Pangrenyep merasa kandungannya akan lahir. Segera Paraji dipanggil. Jabang bayi lahir dengan selamat. Dan seperti harapan baginda: sang jabang bayi seorang pahlawan!
Pada suatu hari, permaisuri Pohaci Naganingrum mendapat firasat yang luar biasa. Ia merasa bahwa jabang bayi akan segera keluar. Ia memerintahkan Timbaklarang untuk memanggil Paraji. Namun rupanya langkah kiri bagi Timbaklarang, karena ia tak kebetulan. Sang paraji tak didapati di rumahnya.

Setelah diputuskannya tali ari-ari, dibawanya bayi itu kea rah kandang yang di bawanya tadi. Dengan hati-hati dibukanya tutup kandang itu. Maka nampaklah isinya seekor anjing dan sebutir telur ayam. Dengan sigap diambilnya anak anjing yang Nampak baru saja dilahirkan induknya itu, digantikannya dengan jabang bayi. Hati-hati ditaruhnya jabang bayi itu dalam kandaga di samping telur ayam. Di pangkuannya lalu dibawa le arah ranjang, hendak dijadikan ganti bayi yang dimasukkan kedalam kandaga. Anak anjing itupun tak henti-hentinya bersuara menggiuk-giuk.

Ia kemudian menitahkan kepada Lengser untuk menghabisi nyawa permaisuri kami yang pertama bernama Pohaci Naganingrum yang menetap di hulunegeri. Sungguh hukman mati jualah yang setimpal dengan dosanya itu. Sebagai bukti kepalanya nanti mesti kau bawa kemari!

Pada pagi keesokan harinya, mereka tiba di sebuah tempat, terletak di tengah-tengah hutan, di mana berdiri beberapa rumah yang terpencil. Itulah kampung asal si Lengser. “baiklah gusti bersitirahat disini, itung-itung bertapa sementara menunggu kedatangan putrananda.” Kata Lengser.

“kemaren orang lewat memikul kayu, menjinjing iatan daun, memanggul lalang kering buat atap terbirit-birit lari dari hutan. Kamipun sampai di Bojong Galuh. Tentu tuankupun lebih maklum bahwa Bojong Galuh bukanlah tempat manusia.” . “biarlah kalau begitu.tak usah kau bawa kepala Naganingrum pendurhaka. Biarlah tubuhnya dimakan onom dan ririwa. Kami gembira bahwa kau bisa pulang dengan selamat.”

“Aki…aki.. bangun Aki!” kata istrinya samil menggyah-guyahkan tubuhnya
“Aku mimpi bulan purnama jatuh di pangkuanku!”
Setibanya di rumah,tak sabar lagi mereka akan mengetahui apakah gerangan isi kandaga itu. “Gusti…Bayi” teriak Nini saking kagetnya. “ada pula sebutir telur ayam”.

“bagaimana jika nama kedua binatang tadi disatukan menjadi namaku?”
“apa? Nama binatang?” Tanya Aki agak kaget
“Namun nama ciung Wanara tidak buruk, Aki” sahut si anak
“baiklah nama itu saja yang dipakai”

“ingin benar hamba menyelidiki sendiri asal usul hamba. Hamba akan membawa ayam jago itu. Hamba akan mengadu ayam jago itu dengan ayam raja.”

“maukah engkau jika sebentar kita sabung ayam itu dengan jagoanku?” kata Patih Purwa Gading
Ciung Wanara menerima tantang itu. Ayam Ciung Wanara Menang.
“ayammu itu sungguh hebat! Jarang ada ayam yang sebagus ini. Maukah kau menghdap baginda raja dengan membawa ayammu ini?”
“baiklah” sahutnya

Keesokan harinya, pada waktu yang telah ditetapkan patih Purwa Gading datang menghadap bersama Ciung Wanara dan ayam jagonya. Baginda dengan tajam meneliti anak yang duduk dengan sikap seenaknya saja itu.
“Ujang, siapa namamu?”
“adapun nama patik Ciung Wanara”

“jika ayam jago patik binasa dalam bersabung, hanya tinggal nyawa saja yang patik miliki. Namun patik telah mempertaruhkan miliki patik yang paling berharga dan yang satu-satunya pula.”
“jika ayammu mengalahkan jago kami, kau akan menjadi anak angkat kami dan berhak atas tahta kerajaan.”

Pada suatu kesmpatan yang baik, ayam Ciuang Wanara terbang hendak menaji kepala lawannya. Tak smpat ayam jago sang raja berkutik. Ayam tinggi besar itu terhuyung-huyung lalu jatuh numprak tak bisa bekutik lagi.”
Setelah sidang para jaksa mendengar keterangan dari berbagai pihak, ternyata semua itu memberatkan Dewi Pangrenyep. Maka diambillah kata sepakat akan menjatuhkan hukuman badan berupa hukuman penjara.
Maka berkelahilah kedua saudara itu dengan sungguh-sungguh, seakan-akan dua musuh lama. Namun keduanya sama tangguh, sama sakti, sama digjaya.

Hariang Banga berteriak ke Ciuang Wanara. Kita hentikan saja pertarungan kita, karena kita ternyata sama-sama tangguh, sama-sama gagah.kanda kini yakin bahwa adinda benar-benar keturunan Galuh.kita masing-masing memerintah kerajaan Galuh yang sangat luas ini.marilah kita jadikan sungai ini sebagai batasan kerajaan kita masing-masing. Di sebelah Timur adalah kerajaanku, sedangkan bagian Barat hingga ke gunung Rakata adalah kerjaan adinda. Memang nampaknya lebih kecil, namun kerajaan adinda lebih subur dan lebih makmur.
Ciung Wanara menerima saran itu

Data II
Sumber: K.M, Saini. 1992. Cerita Rakyat dari Jawa Barat. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Setelah kami analisis analisis naskah ini, kami menemukan beberapa penyimpangan pada sat proses penyalinan, di antaranya:
a.       Penggantian
1.      Memiliki dua orang permaisuri yang bernama Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum. (Ciung Wanara: 1)

Dalam kutipan di atas, salah satu tokohnya bernama ‘Dewi Naganingrum’. Kata ‘Dewi’ merupakan penyimpangan pada saat proses penyalinan. Dari data yang kami jadikan landasan, seharusnya kata ‘dewi’ itu tidak ada, yang ada adalah ‘Pohaci’, ‘Pohaci Naganingrum’.
2.      “Ia pun membantu Dewi Naganingrum membangun gubuk di hutan dan membasahi pakaian dewi naganingrum dengan darah binatang buruan dan memperlihatkan ke raja seakan dewi naganingrum telah dibunuhnya.” (Ciung Wanara: 7)

Kutipan di atas menceritakan tentang Lengser yang membangun sebuah gubuk untuk Dewi Naganingrum yang dijadikan sebagai tempat tinggalnya. Terdapat penggantian peristiwa pada kutipan di atas. Pada data I, tidak diceritakan bahwa Lengser membangun sebuah gubuk untuk tempat tinggal Dewi Naganingrum. Yang ada adalah, Lengser membawa Dewi Naganingrum ke kampunya, tempat lahirnya dahulu.
Hal tersebut dibuktikan pada kutipan,

“pada pagi keesokan harinya, mereka tiba di sebuah tempat, terletak di tengah-tengah hutan, di mana berdiri bebapa rumah yang terpencil. Itulah kampung asal Si Lengser.”
“Gusti” kata si Lengser. “Baiklah gusti beristirahat disini, itung-itung bertapa sementara menunggu kedatangan putranda. Orang-orang yang tinggal di sini adalah kerabat hamba belaka dan semua tentu akan mendengar titah gusti dengan patuh. Mereka akan mengabdi kepada usti seperti hamba sendiri.”

b.      Adisi (penambahan)

1.      “Ia pun disambut oleh Uwak Batara lengser di kediaman raja yang merupakan sesepuh kepercayaan Raja.” (Ciung Wanara: 3)

Terdapat penyimpangan penyalinan pada data II, dalam hal ini tokoh “Uwak Batara Lengser”. Hal itu tidak sesuai dengan data I yang kami jadikan sebagai landasan. Dua tambahan kata, yakni “Uwak dan Batara”, dua kata tersbut  tidak terdapat dalam data landasan kami. Hal ini dibuktikan pada kutipan

“Lengser”, katanya memanggil si Lengser yang setia. Mendengar namanya dipanggil junjungannya, Si Lengser segara berdatang sembah. (Ciung Wanara: 2)

kutipan di atas merupakan kutipan dari data I (data landasan). Sangat jelas perbedaan nama tokoh pada kutipan pada data II dan kutipan pada data I.

2.      “Aria Kebonan menjadi sombong dan bersikap merendahkan Uwak Batara Lengser. Akan tetapi, Uwak Batara lengser tidak dapat berbuat apa apa. Prabu Barma Wijaya Kusumah alias Aria Kebonan pun berani melanggar janji yang lain, ia memperlakukan permaisuri raja seakan istrinya sendiri.” (Ciung Wanara: 3)

Kutipan di atas menggambrkan watak dari Aria Kebonan yang saat itu telah menjadi seorang Raja yang wajahnya dibuat mirip dengan Raja yang sebenarnya. Kutipan di atas menggambarkan watak Aria Kebonan yang sombong, angkuh, merendahkan orang lain, dan melanggar janji. Penyimpangan yang terdapat pada kutipan di atas adalah tokoh Aria Kebonan adalah tokoh yang ditambahan pada cerita Ciung Wanara. Pada data I, tidak ditemukan adanya tokoh Aria Kebonan.

3.      “Pada suatu ketika, Prabu Barma Wijayah Kusumah menjenguk Dewi Naganingrum, lalu bayi di dalam kandungan permaisuri berkata, "Hai Barma Wijaya kusumah, kamu sudah banyak melanggar janji dan bahkan berbuat jahat. Kekuasaan tidak akan berlangsung lama!" Prabu Barma Wijaya Kusuma sangat marah serta sanagt takut mendengar suara bayi itu.” (Ciung Wanara: 4)

        Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa bayi yang ada di dalam kandungan Dewi Naganingrum berkata kepada Prabu Barma Wijaya Kusuma tentang kejahatan yang ia lakukan selama ini dan juga memperingatkan kepada Prabu Brama Wijaya bahwa kekuasaannya tidak akan berlangsung lama.
        Kutipan di atas menunjukkan adanya penyimpangan penambahan dalam cerita      “Ciung Wanara”. Pada data I, tidak terdapat pernyataan tersebut. Pada data I, tidak pernah diceritakan bahwa bayi yang ada dalam kandungan Dewi Naganingrum berbicara kepada Prabu Barma Wijaya. Ciung Wanara pertama kali berbicara dengan Prabu Barma Wijaya pada saat Ciung Wanara berada di istana kerajaan untuk men-nyabung ayamnya dengan ayam Raja. Perbicangan tersebut terjadi pada saa Ciung Wanara mencari orang tuanya yang sesungguhnya.
Pernyataan tersebut dibuktikan pada kutipan dalam data I,
“Ujang, siapakah namamu?” ciung Wanara segera menghaturkan sembah dengan kaku.
“Adapun nama patik Ciung Wanara” (Ciung Wanara: 79)

4.      “Maka di hasutlah Dewi pangrenyep agar mencelakai Dewi Naganingrum dan bayinya. Mendengar hasutan Raja, Dewi Pangrenyep merasa bahwa anak Dewi Naganingrum kelak akan menjadi ancaman bagi anaknya untuk menjadi raja, sehingga ia pun berniat menjadikan anaknya sebagai penerus tahta tunggal kerajaan.” (Ciung Wanara: 6)

       Kutipan di atas menunjukkan adanya kerja sama antara Dewi Pangrenyep dan Raja. Mereka bekerjasama untuk mencelakai Dewi Naganingrum. Pada kutipan di atas, menujkkan adanya penyimpangan dalam hal penambahan. Penyimpangannya terletak pada frasa, “Maka dihasutlah Dewi Pangrenyep agar mencelakai Dewi Naganingrum”.
        Pada data I, tidak terdapat bahwa mereka berdua bekerjasama untuk mencelakakan Dewi Naganingrum. Pada data I diceritakan bahwa Dewi Pangrenyep memang memiliki niat jahat kepada Dewi Nanganingrum dan bayi yang dikandungnya dikarenakan ketamakan dan juga sifat iri hati. Akan tetapi, tidak diceritakan bahwa Dewi Pangrenyep dan aja bekerjasama untuk mencelakai Dewi Naganingrum dan bayi yang dikandungnya.
Pernyataan di atas dibuktikan pada kutipan,

“melihat bahwa bayi madunyapun lelaki, maka mengembanglah irihati dan ketamakan dalam hati Dewi Pangrenyep. Setelah diputuskannya tali ari-ari, dibawanya bayi itu ke kandaga yang dibawanya tadi. Maka dgantikannya bayi itu dengan seekor anjing” (Ciung Wanara: 25)

      
c.       Omisi (penghilangan)

“Tatkala baginda mendengar sembah Patih Purwa Gading dengan patih Gajah Manggala, bahwa ada seekor ayam yang amat bagus, baginda tertarik dengannya.”

Pada data II, tidak ditemukan adanya tokoh ‘patih Purwa Gading dan patih Gajah Manggala’. Hal ini termasuk penyimpangan omisi. Pada data I yang kami jadikan sebagai landasan, dengan jelas menceritakan kedua tokoh tersebut. Bahkan kedua tokoh tersebut menjadi sebab bertemunya Ciung Wanara dan Prabu Barma Wijaya Kusuma.


Data III
Setelah kami anilisis data III, terdapat beberapa penyimpangan pada data III. Baik penyimpangan penambahan, pengurangan, dan penghilangan. Berikut adalah hasil analisis yang kami lakukan
a.       Penggantian
1.      “Permaisuri pertama bernama Nyimas Dewi Naganingrum dan yang kedua Nyimas Dewi Pangrenyep.”

Sama halnya dengan data II, pada data III ini tokoh “Nyimas Dewi Naganingrum” juga mengalami penggantian. Pada data I, kata “Dewi” tidak terdapat pada cerita data I. hal ini dibuktikan pada kutipan data I

Kedua permaisuri baginda adalah wanita pilihan yang merupakan pasangan yang amat rukun. Yang pertama bernama Pohaci Naganingrum dan Dewi Pangrenyep.”(Ciung Wanara: 1)

kata “Pohaci” pada data I diganti dengan kata “Dewi” pada data III. Pengantian tersebut merupakan penyimpangan pada proses penyalinan.

2.      “Bayi yang sebenarnya di masukkan ke dalam sebuah keranjang.”

Pada kutipan di atas, terjadi penyimpangan berupa penggantian kata. Kata “Kandaga” pada data I diganti dengan kata “Keranjang” pada data III. Secara arti, kata “kandaga” berarti semacam peti yang digunakan menyimpan barang-barang berharga, sedangkan kata “keranjang” berarti bakul besar yang anyamannya bakul-bakul kasar (KBBI V During).
Hal ini dibuktikan pada kutipan data I

“Setelah Timbaklarang mengundurkan diri, maka Dewi Pangrenyep bersiap-siap. Diambilnya kandaga yang memang sudah disediakannya sejak lama.” (Ciung Wanara: 20)

3.      “Ki Lengser membuatkan sebuah gubug untuk tempat tinggal Dewi Naganingrum.”

       Kutipan di atas menceritakan tentang Lengser yang membangun sebuah gubuk untuk Dewi Naganingrum yang dijadikan sebagai tempat tinggalnya. Terdapat penggantian peristiwa pada kutipan di atas. Pada data I, tidak diceritakan bahwa Lengser membangun sebuah gubuk untuk tempat tinggal Dewi Naganingrum. Yang ada adalah, Lengser membawa Dewi Naganingrum ke kampunya, tempat lahirnya dahulu.
Hal tersebut dibuktikan pada kutipan,

“pada pagi keesokan harinya, mereka tiba di sebuah tempat, terletak di tengah-tengah hutan, di mana berdiri bebapa rumah yang terpencil. Itulah kampung asal Si Lengser.”
“Gusti” kata si Lengser. “Baiklah gusti beristirahat disini, itung-itung bertapa sementara menunggu kedatangan putranda. Orang-orang yang tinggal di sini adalah kerabat hamba belaka dan semua tentu akan mendengar titah gusti dengan patuh. Mereka akan mengabdi kepada usti seperti hamba sendiri.”

4.      Untuk membuktikan bahwa ia sudah melaksanakan tugasnya, ia membasahi senjatanya dengan darah binatang buruan yang ia temui di dalam hutan.”

Kutipan di atas menceritakan bahwa untuk membuktikan ia (Lengser) telah melaksanakan tugasnya, ia membasahi sejatanya dengan darah binatang buruan yang ia temui di dalam hutan. Terdapat penyimpangan penggantian peristiwa yang sebenarnya. Peristiwa pada data I berbeda dengan persitiwa pada data III. Hal ini dibuktikan pada kutipan,
“kemaren orang lewat memikul kayu, menjinjing iatan daun, memanggul lalang kering buat atap terbirit-birit lari dari hutan. Kamipun sampai di Bojong Galuh. Tentu tuankupun lebih maklum bahwa Bojong Galuh bukanlah tempat manusia.” Ucap Lengser “tempat itu tempat tersohor tempat setan siluman, onom, dan ririwa, jin, dan kuntilanak pada berpesta. Mereka bernyanyi,
“minta sumsum, minta tulang.
Minta urat, minta saraf,
Minta daging, minta darah,
Minta kulit, minta bulu.
Hati dan mata bagian guah!
“biarlah kalau begitu.tak usah kau bawa kepala Naganingrum pendurhaka. Biarlah tubuhnya dimakan onom dan ririwa. Kami gembira bahwa kau bisa pulang dengan selamat.” (Ciung Wanara: 50)

Kutipan di atas membuktikan adanya penggantian peristiwa cerita. Tidak ada persitiwa “membasahi senjata dengan darah binatang buruan yang ia temui di dalam hutan.” yang ada adalah alasan yang diungkapkan Lengser kepada Raja. Ia mengatakan bahwa Pohaci Naganingrum dimana onom dan ririwa”. Sehingga tidak perlu ada bukti khusus untuk membuktikan alas an yang diungkapkan Lengser.
5.      Suatu hari, ia ingin sekali pergi ke Galuh untuk mengembara.”

Kutipan di atas menceritakan bahwa Ciung Wanara sangat ingin pergi ke Galuh untuk mengembara. Kutipan di atas mengalami penyimpangan penggantian perstiwa cerita. Pada data I, disebutkan bahwa Ciung Wanara memang ingin ke Galuh, tapi bukan untuk mengembara; melainkan untuk menyelidiki asal usulnya, mengadu ayam jagonya dengan ayam raja, sembari mencari identitas orangtua kandungnya. Pernyataan tersebut dibutikan pada kutipan,

“ingin benar hamba menyelidiki sendiri asal usul hamba. Hamba akan membawa ayam jago itu. Hamba akan mengadu ayam jago itu dengan ayam raja.” (Ciung Wanara: 70)

6.      “Setibanya di kerajaan Galuh. Ia bertemu dengan dua orang Patih yang bernama Purawesi dan Puragading.”

Kutipan di atas menunjukkan adanya tokoh Purawesi dan Puragading. Kutipan di atas mengalami penggantian tokoh. Tokoh yang ada pada data I berbeda dengan tokoh pada data II. Nama tokoh yang benar adalah Gajah Manggala dan Purwa Gading. Hal ini dibuktikan pada kutipan,

“Pada suatu hari tatkala kedua orang patih Negara yang bernama Gajah Manggala dan Patih Purwa Gading, lewat di alun-alun sambil membawa ayam jago mereka yang hendak dipersembahkan kepada baginda.” (Ciung Wanara: 73)

7.      "Kau berniat untuk menyambung Ayam dengan milikku? Apa taruhannya?" tanya Raja Galuh.

Kutipan di atas menceritkan Raja Galuh bertanya kepada Ciung Wanara, “apakah ia mengadu ayam jago miliknya dengan ayam jago milik Raja”. Kutipan di atas adalah penggantian cerita yang sebenarnya. Pada data I, Raja memang sengaja mengundang Ciung Wanara ke istana untuk mengadu ayam jagonya. Berbeda dengan data II. Hal ini dibuktikan pada kutipan,

Tatkala baginda mendengar sembah Patih Purwa Gading dengan patih Gajah Manggala, bahwa ada seekor ayam yang amat bagus, baginda tertarik dengannya. Segera bersabda” “Segeralah kaubawa anak itu kemari ! bawa ayamnya sekali ! nanti kita adu dengan ayam kami.” (Ciung Wanara: 79)

b.      Omisi (penghilangan)
1.      “Menganggk-angguk kesenangan bagnda menerima sembah putranda seorang lelaki. Raja memerintahkan Lengser untuk mengumumkan ke seluruh negeri mengenai berita menggembirakan ini. Maka diadakanlah pesta Negara di alu-alun negeri, tujuh hari tujuh malam lamanya.” (Ciung Wanara: 3)

Kutipan di atas diambil dari data I. pada data III, tidak diceritakan mengenai pesta Negara yang diadakan oleh kerajaan Galuh sebagai bentuk kebahagiaan Raja atas lahirnya seorang bayi laki-laki yang kelak menjadi penerus Raja.

2.      “Dewi Pangrenyep pun meletakkan sebutir telur ayam. Ia pun segera menghayutkan bayi tersebut ke sebuah sungai.”

Pada kutipan di atas diceritakan bahwa Dewi Pangrenyep menghanyutkan bayi Dewi Naganingrum ke sebuah sungai. Namun tidak disebutkan apa nama sungai tersebut, bagaimana keadaan sungainya. Terjadi proses penghilangan kata mapun frasa pada kutipan tersebut. Hal ini berbeda dengan cerita pada data I yang menyebutkan nama dan keadaan sungai tersebut. Pernyataan tersebut dibuktikan pada kutipan,

Dengan perasaan puas, Dewi Pangrenyep menghanyutkan kandaga yang berisi bayi madunya itu di sungai Citanduy yang kebetulan lagi banjir.” (Ciung Wanara: 27)

3.      “Suatu hari, mereka berdua pergi ke sebuah sungai untuk menangkap Ikan. Namun, mereka di kejutkan dengan sebuah keranjang besar berisi seorang bayi Laki-laki yang sangat lucu dan tampan. Mereka sangat bahagia dan mereka berpikir bahwa inilah sebuah jawaban dari doanya.”

Kutipan di atas menggambarkan bahwa mereka (Aki dan Nini) pergi ke sebuah sungau untuk menangkap ikan. Mereka menemukan bayi yang berada di dalam keranjang besar. Mereka sangat bahagia dan berpikir bahwa ini adalah jawaban dari doa mereka. Kutipan di atas mengalami pengurangan peristiwa sebelum mereka pergi ke sebuah sungai untuk menangkap ikan. Tidak disebutkan bahwa sebelumnya Nini bermimpi kejatuhan bulan.
Hal ini berbeda dengan data I, yang menyebutkan bahwa sebelum mereka menemukan bayi di sungai, Nini bermimpi bulan purnama jatuh di pangkuannya. Hal ini dibuktikan pada kutipan,

“Aki…aki.. bangun Aki!” kata istrinya samil menggyah-guyahkan tubuhnya
“Aku mimpi bulan purnama jatuh di pangkuanku!” (Ciung Wanara: 55)

4.      Blak! Blak! Kukuruyuk !
Ayah raja bundapadun ratu !
Lama kandungan satu tahun !
Paraji ibunda ratu !
Meski manis, namun madu !
Dengan malam mata ditutup !
Dengan malam kuping ditutup !
Kedua tangan dibelenggu !
Waltu lahir dalam kandaga hanyut !
Bersama sebutir telur !
Blak ! Blak ! Kukuruyuk !
(Ciung Wanara: 60-61)

Kutipan di atas tidak diceritakan pada data III. Padahal kutipan tersebut merupakan kutipan yang amat penting dalam cerita Ciung Wanara karena kutipan tersebut menjadi salah-satu hal yang membuat identitas Ciung Wanara dikenali oleh Lengser.

c.       Adisi (penambahan)
1.      “Dalam keadaan marah. Akhirnya, Raja segera memanggil Penasehat Raja yang bernama Ki Lengser.”

Pada kutipan di atas terdapat penambahan kata “Ki”. Sedangkan pada data I, tidak ditemukan adanya kata Ki. Hal ini dibuktikan pada kutipan,

“Ia kemudian menitahkan kepada Lengser untuk menghabisi nyawa permaisuri kami yang pertama bernama Pohaci Naganingrum yang menetap di hulunegeri.” (Ciung Wanara: 35)

2.      Ia pun berharap dapat kembali ke Istana dan hidup bahagia bersama keluarganya”

Pada kutipan di atas, diceritakan bahwa Ia (Pohaci Naganingrum) berharap dapat kembali ke Istana dan hidup bahagia dengan keluarganya. Kutipan di atas adalah kutipan tambahan. Tidak ditemukan adanya kutipan tersebut pada data I.

3.      “Di simpannya telur Ayam tersebut kepada seekor Naga yang bernama Nagawiru yang berada di Gunung Padang.”

Pada kutipan di atas, diceritakan bahwa telur ayam Ciung Wanara diberikan kepada seekor Naga yang bernama Nagawiru untuk ditetaskan. Terdapat beberapa penambahan pada kutipan di atas. Pada data I, tidak diceritakan bahwa telur tersebut disimpan kepada seeokor naga yang bernama Nagawiru.

4.      “Dan Ibunya di asingkan di dalam hutan belantara. Mendengar penjelsan tersebut. Akhirnya, Ciung Wanara berangkat ke Kerajaan Galuh dengan membawa Ayam Jantan kesayangannya.”
Pada kutipan di atas diceritakan bahwa sebelum berangkat ke Galuh, Ciung Wanara diberikan penjelasan mengenai dimana Ibunya saat ini dan bagaimana keadaannya. Kutipan di atas adalah penyimpangan dalam hal penambahan kata/frasa/kalimat. Pada data I, tidak diceritakan bahwa Aki dan Nini mengetahui dimana dan bagaimana keadaan Ibu Ciung Wanara.

5.      “Ciung Wanara datang ke Istana untuk bertemu dengan Raja. Ia pun membuat kekacauan di depan Istana. Akhirnya, Baginda segera memerintahkan para pengawal agar Ciung Wanara menghadap.”
Pada kutipan di atas diceritakan bahwa Ciung Wanara membuat kekacauan di depan istana. Kutipan di atas adalah penyimpangan dalam hal penambahan perstiwa cerita. Bukan pada tataran kata, namun pada tataran kalimat.

d.      Transposisi
1.      “Aki dan Nini memberikan nama Ciung Wanara karena mereka melihat seekor Monyet yang aneh, Monyet tersebut bernama Wanara. Kemudian mereka pun melihat seekor Burung yang bernama Ciung. Akhirnya, keduanya sepakat. Nama dari ke dua binatang tersebut. Akhirnya, di jadikan sebagai nama anaknya.”
Pada kutipan di atas diceritakan bahwa nama Ciung Wanara diambil dari nama hewan Monyet yang bernama dan Seekor burung ciung. Kutipan di atas mengalami perubahan posisi dari cerita pada data I. pada data III ini, penyebutan Monyet (wanara) ini lebih dahulu dibanding penyebutan burung Ciung. Berbeda dengan data I yang menyebutkan Ciung terlebih dahulu dibanding penyebutan Wanara. Hal ini dibuktikan pada kutipan,

“Aki burung apakah itu sangat indah bulunya, hinggap di dahan yang tinggi nian itu?”..”itulah burung Ciung disebut orang” jawab Aki. “dan itu, Aki, lihat seekor binatang seekor binatang buntut, lincah melompat dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, apakah gerangan namany?” Tanya kanak-kanak. “itulah wanara” sahut Aki. “dinamakan orang pula kera atau monyet…” (Ciung Wanara: 63)










V.            Penutup dan Kesimpulan
      Berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan, maka dapat disimpulakn:
1.      Penyimpangan dalam hal penggantian sebanyak 9 kali. Dengan rincian 2 kesalahan dari data II dan 7 kesalahan dari data III.
2.      Penympiangan dalam hal Adisi (penambahan) sebanyak 9 kali. Dengan rincian 4 kesalahan dari data II dan 5 kesalahan dari data III.
3.      Penyimpangan dalam hal Omisi (pengurangan) sebanyak 5 kali. Dengan rincian I kesalahan dari data II dan 4 kesalahan dari data III.
4.      Penyimpangan dalam hal transposisi sebanyak 1 kali. Penyimpangan tersebut terdapat pada data III.
5.      Jadi, total penyimpangan yang terjadi pada saat proses penyalilanan cerita rakyat Ciung Wanara sebanyak 24 kesalahan.
6.      Penyimpangan yang ada bukan hanya pada tataran fonem maupun kata saja, melainkan dalam tataran kalimat.
7.      Penyimpangan juga terdapat pada alur dan isi cerita

















Daftar Pustaka

Baried, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djamaris, Edwar. (2002). Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV Manasco
KBBI V Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
K.M, Saini. 1992. Cerita Rakyat dari Jawa Barat. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Patimah. 2000. Ensiklopedi Sunda: Alama, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jawa
Robson. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL
Rosidi, Ajib.1985. Ciung Wanara. Jakarta: Gunung Agung.


1 komentar:

  1. Top Casinos in Harrah's Gulf Coast | Mapyro
    Hotels near Harrah's Gulf Coast 태백 출장샵 · Fairfield Inn & Suites by Wyndham Gulf Coast · Wildhorse Inn and Suites by Wyndham 충청북도 출장마사지 Gulf Coast · Fairfield 여주 출장샵 Inn & Suites by Wyndham 천안 출장안마 Gulf Coast. 세종특별자치 출장안마

    BalasHapus