LAPORAN HASIL ANALISIS KRITIK TEKS
CERITA RAKYAT CIUNG WANARA DENGAN PENDEKATAN
METODE LANDASAN
DISUSUN
OLEH
KELOMPOK 2
ISFAN
FAJAR
SITTI
SARPIA SYAM
RESKY
SYAMSUL
APRIAL
SUBHAN
ADE ELVIRA
SURYANI
BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
BAHASA DAN
SASTRA
UNIERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2017
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Naskah dapat dipandang sebagai dokomen
budaya, karena naskah berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan
dan pengetahuan sejarah, serta budaya bangsa atau kelompok sosial budaya
tertentu. Naskah merupakan salah satu warisan budaya leluhur bangsa atau dapat
juga disebut sebagai warisan nenek moyang kita yang diturunkan secara turun
temurun sejak dulu sampai sekarang ini. Ikram (1981: 76) mengungkapkan bahwa
naskah merupakan sumber kebudayaan daerah yang tak ternilai harganya bagi
orang-orang Indonesia.
D. Edward (2002: 3) berpendapat bahwa
“naskah adalah semua tulisan tangan peninggalan nenek moyang pada kertas,
lontar, kulit kayu, dan rotan”. Baried(19914: 54) berpendapat bahwa “naskah
adalah hasil tujuan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan erasaan
sebagai hasil budaya bangsa masa lampau”. Oleh karena itu, naskah merupakan
dokumen bangsa yang paling menarik untuk digali dan dikaji bagi para peneliti kebudayaan
lama karena memberikan informasi luas berupa sejarah dan berbagai ilmu
dibandingkan peninggalan yang lainnya.
Naskah perlu dilestarikan dan dijaga
keutuhannya karena di dalamnya terdapat informasi penting yang harus diketahui
oleh semua orang pada generasi yang akan datang. Dalam upaya pelestarian,
penyelamatan dan pemanfaatan isi teks naskah yang kebanyakan masyarakat
menganggapnya sebagai barang kuno, maka pada kesempatan kali ini kami berupaya
untuk menyajikan sebuah suntingan teks yang berjudul naskah Ciung Wanara.
Naskah Ciung Wanara dipilih menjadi objek penelitian berdasarkan beberapa
pertimbangan, di antaranya: merupakan salah satu legenda yang ada di Indonesia,
naskah ini pernah di-film-kan pada
tahun 2000-an, banyaknya pesan moral dalam naskah tersebut, dan banyaknya versi
cerita dari naskah Ciung Wanara.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah versi cerita yang paling mendekati
cerita asli dari naskah Ciung Wanara?
2. Penyimpangan apa saja yang terdapat pada naskah Ciung Wanara yang disalin?
II.
Kajian Literatur
A.
Metode Analisis
Secara mendasar, metode penelitian ini
berpankal pada penggunaan metode landasan (legger).
Penggunaan metode tersebut diharapkan dapat memaparkan berbagai bukti/fakta
yang terdapat pada teks Ciung Wanara melalui
tahap kajian kritik teks. Metode ini diterapkan apabila menurut tafsiran ada
satu atau segolongan naskah yang unggul kualitasnya dibandingkan dengan
naskah-naskah yang diperiksa dari sudut pandang bahasa, kesastraan, sejarah,
dan lain sebagainya sehingga dapat dinyatakan sebagai naskah yang mengandung
paling banyak bacaan yang baik. Oleh karena itu, naskah ini dipandang paling
baik untuk jadikan landasan atau induk teks atau edisi. Varian-variannya hanya
digunakan sebagai pelengkap atau penunjang.
Menurut Sudardi metode landasan ialah
penyuntingan dengan mengambil satu naskah yang dianggap paling baik
kualitasnya. Naskah yang dianggap paling baik diambil sebagai dasar suntingan,
sementara naskah-naskah lainnya hanya sebagai penunjang bila ada hal-hal yang
meragukan.
Pemilihan dan penentuan naskah yang
mengandung bacan yang baik dilakukan berdasarkan berbagai kriteria, antara lain
usia naskah. Bila terdapat naskah tertua, perlu mendapat perhatian,
perhitungan, dan diprioritaskan. Akan tetapi, tidak harus selalu naskah tertua
yang dipilih. Perlu juga diperhatikan aspek-aspek penampilan dari berbagai
segi, baik dari segi bahasa, kejelasannya (tidak terdapat kerusakan yang
mengganggu bacaannya), dan kelengkapan informasi yang dikandungnya (seperti
keterangan naman pengarang, tempat, dan tanggal penulisannya).
Metode landasan dipakai apabila menurut
tafsiran nilai naskah jelas berbeda, sehingga ada satu atau sekolompok naskah yang
menonjol kualitasnya. Kalau semua uraian sudah diperiksa, baik dari sudut
bahasa, sastra, sejarah, dan naskah yang mempunyai bacaan yang baik dengan jumlah
yang besar, dapat dianggap naskah yang terbaik dan dapat dijadikan landasan
atau teks dasar (Robson, 1978: 36)
B.
Naskah yang
Dianalisis
Ciung
Wanara adalah legenda di
kalangan orang Sunda di Indonesia. Cerita rakyat ini menceritakan legenda
kerajaan Sunda Galuh, asal muasal nama Sungai Pamali serta menggambarkan
hubungan budaya antara orang Sunda dan Jawa yang tinggal di bagian provinsi
Jawa Tengah (Patimah, 2000: )
III.
Metode Analisis
1.
Sumber Data-Data
Naskah
Data dalam penelitian/analisis ini
adalah data bahasa tulisan dan lisan. Data tulisan yang bersumber dari buku
bacaan yang kami ambil dari Perpustakaan Daerah Makasar dan tulisan yang kami
ambil dari internet. Sebagai data tambahan (lisan), kami mewawancari beberapa
narasumber yang berasal dari daerah Jawa Barat. Kami juga merekam hasil
wawancara kami, yang kemudian menjadi data yang bisa menambah pengetahuan kami
mengenai naskah yang kami analisis.
2.
Tehnik
Pengumpulan Data
Studi kepustakaan,
teknik baca dan catat, wawancara.
3.
Metode Analisis
Metode yg digunakan
dalam analisis kritik teks cerita rakyat Ciung
Wanara adalah metode landasan (Legge).
4.
Langkah-Langkah
Kritik Teks yang Digunakan
a. Pencatatan dan pengumpulan naskah
Jika telah menentukan untuk meneliti
suatu naskah, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencatat naskah
dan teks cetakan yang berjudul sama atau berisi cerita yang sama yang termuat
dalam buku di perpustakaan.
Untuk mendapatkan bahan penelitian yang
lengkap, perlu dikumpulkan ulasan-ulasan mengenai teks naskah itu seluruh
maupun sebagiannya.
b.
Meresensi naskah
Setelah mencatat dan mengumpulkan naskah
yang berjudul sama dan bersisi cerita yang sama, langkah selanjutnya adalah
meresensi naskah yang telah didapat. Sebelum meresensi, ada beberapa tahapan
yang harus dilakukan, antara lain: Membaca buku yang akan diresensi secara
menyeluruh, cermat, dan teliti; Menandai bagian-bagian buku yang memerlukan
perhatian khusus dan menentukan bagian-bagian khusus yang akan dikutip sebagai
data acuan; dan membuat sinopsis atau inti sari dari buku yang akan diresensi.
Setelah beberapa tahapan tersebut telah dilakukan, langkah terakhir adalah
meresensi naskah tersebut. Hasil resensi tersebut lebih memudahkan untuk
melakukan perbanding antara naskah satu dan naskah yang lainnya.
c.
Perbandingan
Langkah selanjutnya adalah membandingkan
hasil resensi yang satu dengan yang lainnya. Perbandingan dilakukan untuk menentukan
persamaan dan perbedaan pada naskah yang ada, baik dari segi struktur (judul,
tokoh, dan rangkaian peristiwa), isi teks cerita, dan gaya bahasa (kata,
istilah, dan ungkapan).
Hasil dari perbandingan teks yang
dilakukan dapat dijadikan kesimpulan dan pemilihan naskah yang dinggap paling
mendekati aslinya.
IV.
Hasil Analisis
dan Pembahasan
Data I
Naskah
ini kami jadikan landasan sebab naskah ini paling unggul dibandingkan dengan
naskah yang lainnya, baik dari segi bahasa maupun kelengkapan peristiwa yang
terjadi pada cerita tersebut. Ditinjau dari sudut;
Bahasa
Bahasa
yang digunakan merupakan bahasa zaman dahulu. Dalam hal ini banyak dijumpai
kata yang sudah tidak digunakan pada saat ini. Dengan kata lain, beberapa kata
dalam data tersebut sudah disempurnkan.
Misalnya
kata: dari kedua permisuri:
keduanya tidak lagi berdatang bulan.
karena ia tak kebetulan, kandaga,
Beberapa
kata yang terdapat pada data I juga sangat erat hubungannya dengan kerjaan.
Misalnya: adinda, raja, permaisuri,
dayang, patih, putranda, titah, gusti, hamba, ujang.
Dari sudut kelengkapan peristiwa
Kehamilan
dua istri Prabu Barma Wijaya Kusumah; Dewi pangrenyep melahirkan pada usia
kandungan Sembilan bulan; Pohaci Naganingrum melahirkan pada usia kehamilan
tiga belas bulan; Dewi Pangrenyep menukar bayi Pohaci Naganingrum dengan seekor
anjing, lalu membuang bayi Pohaci Naganingrum yang dimasukkan ke dalam kandaga
di sebuah sungai; titah Raja untuk membunuh Pohaci Naganingrum di tengah hutan
dan membawakan kepalanya sebagai bukti; Lengser tidak membunuh Pohaci
Naganingrum, malahan membawanya ke kampung halaman Lengser untuk tinggal disana
sembari menunggu putranya menjemputnya kelak; kebohongan Lengser kepada Raja
dengan mengatakan bahwa Pohaci Naganingrum tidak selamat karena masuk ke daerah
Bojong Galuh; mimpi Nini bulan jatuh di pangkuannya, lalu menemukan bayi dan
sebutir telur yang berada di dalam kandaga yang masuk ke dalam badodon Aki;
pemberian nama Ciung Wanara;
Kutipan:
Dalam waktu yang hampir bersamaan, baginda Prabu
Barma Wijaya Kusumah menerima sembah yang menggembirakan dari kedua permisuri:
keduanya tidak lagi berdatang bulan.
Sembilan bulan dilalui dengan tentram dan penuh
harap. Dan pabila saatnya telah tiba, maka Dewi Pangrenyep merasa kandungannya
akan lahir. Segera Paraji dipanggil.
Jabang bayi lahir dengan selamat. Dan seperti harapan baginda: sang jabang bayi
seorang pahlawan!
Pada suatu hari, permaisuri Pohaci Naganingrum
mendapat firasat yang luar biasa. Ia merasa bahwa jabang bayi akan segera
keluar. Ia memerintahkan Timbaklarang untuk memanggil Paraji. Namun rupanya
langkah kiri bagi Timbaklarang, karena ia tak kebetulan. Sang paraji tak
didapati di rumahnya.
Setelah diputuskannya tali ari-ari, dibawanya bayi
itu kea rah kandang yang di bawanya tadi. Dengan hati-hati dibukanya tutup
kandang itu. Maka nampaklah isinya seekor anjing dan sebutir telur ayam. Dengan
sigap diambilnya anak anjing yang Nampak baru saja dilahirkan induknya itu,
digantikannya dengan jabang bayi. Hati-hati ditaruhnya jabang bayi itu dalam
kandaga di samping telur ayam. Di pangkuannya lalu dibawa le arah ranjang,
hendak dijadikan ganti bayi yang dimasukkan kedalam kandaga. Anak anjing itupun
tak henti-hentinya bersuara menggiuk-giuk.
Ia kemudian menitahkan kepada Lengser untuk
menghabisi nyawa permaisuri kami yang pertama bernama Pohaci Naganingrum yang
menetap di hulunegeri. Sungguh hukman mati jualah yang setimpal dengan dosanya
itu. Sebagai bukti kepalanya nanti mesti kau bawa kemari!
Pada pagi keesokan harinya, mereka tiba di sebuah
tempat, terletak di tengah-tengah hutan, di mana berdiri beberapa rumah yang
terpencil. Itulah kampung asal si Lengser. “baiklah gusti bersitirahat disini,
itung-itung bertapa sementara menunggu kedatangan putrananda.” Kata Lengser.
“kemaren orang lewat memikul kayu, menjinjing iatan
daun, memanggul lalang kering buat atap terbirit-birit lari dari hutan. Kamipun
sampai di Bojong Galuh. Tentu tuankupun lebih maklum bahwa Bojong Galuh
bukanlah tempat manusia.” . “biarlah kalau
begitu.tak usah kau bawa kepala Naganingrum pendurhaka. Biarlah tubuhnya
dimakan onom dan ririwa. Kami gembira bahwa kau bisa pulang dengan selamat.”
“Aki…aki.. bangun Aki!” kata istrinya samil
menggyah-guyahkan tubuhnya
“Aku mimpi bulan purnama jatuh di pangkuanku!”
Setibanya di rumah,tak sabar lagi mereka akan
mengetahui apakah gerangan isi kandaga itu. “Gusti…Bayi” teriak Nini saking
kagetnya. “ada pula sebutir telur ayam”.
“bagaimana jika nama kedua binatang tadi disatukan
menjadi namaku?”
“apa? Nama binatang?” Tanya Aki agak kaget
“Namun nama ciung Wanara tidak buruk, Aki” sahut si
anak
“baiklah nama itu saja yang dipakai”
“ingin benar hamba menyelidiki sendiri asal usul
hamba. Hamba akan membawa ayam jago itu. Hamba akan mengadu ayam jago itu
dengan ayam raja.”
“maukah engkau jika sebentar kita sabung ayam itu
dengan jagoanku?” kata Patih Purwa Gading
Ciung Wanara menerima tantang itu. Ayam Ciung Wanara
Menang.
“ayammu itu sungguh hebat! Jarang ada ayam yang
sebagus ini. Maukah kau menghdap baginda raja dengan membawa ayammu ini?”
“baiklah” sahutnya
Keesokan harinya, pada waktu yang telah ditetapkan
patih Purwa Gading datang menghadap bersama Ciung Wanara dan ayam jagonya.
Baginda dengan tajam meneliti anak yang duduk dengan sikap seenaknya saja itu.
“Ujang, siapa namamu?”
“adapun nama patik Ciung Wanara”
“jika ayam jago patik binasa dalam bersabung, hanya
tinggal nyawa saja yang patik miliki. Namun patik telah mempertaruhkan miliki
patik yang paling berharga dan yang satu-satunya pula.”
“jika ayammu mengalahkan jago kami, kau akan menjadi
anak angkat kami dan berhak atas tahta kerajaan.”
Pada suatu kesmpatan yang baik, ayam Ciuang Wanara
terbang hendak menaji kepala lawannya. Tak smpat ayam jago sang raja berkutik.
Ayam tinggi besar itu terhuyung-huyung lalu jatuh numprak tak bisa bekutik
lagi.”
Setelah sidang para jaksa mendengar keterangan dari
berbagai pihak, ternyata semua itu memberatkan Dewi Pangrenyep. Maka diambillah
kata sepakat akan menjatuhkan hukuman badan berupa hukuman penjara.
Maka berkelahilah kedua saudara itu dengan
sungguh-sungguh, seakan-akan dua musuh lama. Namun keduanya sama tangguh, sama
sakti, sama digjaya.
Hariang Banga berteriak ke Ciuang Wanara. Kita
hentikan saja pertarungan kita, karena kita ternyata sama-sama tangguh,
sama-sama gagah.kanda kini yakin bahwa adinda benar-benar keturunan Galuh.kita
masing-masing memerintah kerajaan Galuh yang sangat luas ini.marilah kita
jadikan sungai ini sebagai batasan kerajaan kita masing-masing. Di sebelah
Timur adalah kerajaanku, sedangkan bagian Barat hingga ke gunung Rakata adalah
kerjaan adinda. Memang nampaknya lebih kecil, namun kerajaan adinda lebih subur
dan lebih makmur.
Ciung Wanara menerima saran itu
Data II
Sumber: K.M, Saini. 1992. Cerita Rakyat dari Jawa Barat. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Setelah kami analisis analisis naskah ini, kami
menemukan beberapa penyimpangan pada sat proses penyalinan, di antaranya:
a.
Penggantian
1. Memiliki dua
orang permaisuri yang bernama Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum. (Ciung Wanara: 1)
Dalam kutipan di atas, salah satu tokohnya bernama
‘Dewi Naganingrum’. Kata ‘Dewi’ merupakan penyimpangan pada saat proses penyalinan.
Dari data yang kami jadikan landasan, seharusnya kata ‘dewi’ itu tidak ada,
yang ada adalah ‘Pohaci’, ‘Pohaci Naganingrum’.
2.
“Ia
pun membantu Dewi Naganingrum membangun gubuk di hutan dan membasahi pakaian
dewi naganingrum dengan darah binatang buruan dan memperlihatkan ke raja seakan
dewi naganingrum telah dibunuhnya.” (Ciung Wanara:
7)
Kutipan di atas menceritakan tentang Lengser yang
membangun sebuah gubuk untuk Dewi Naganingrum yang dijadikan sebagai tempat
tinggalnya. Terdapat penggantian peristiwa pada kutipan di atas. Pada data I,
tidak diceritakan bahwa Lengser membangun sebuah gubuk untuk tempat tinggal
Dewi Naganingrum. Yang ada adalah, Lengser membawa Dewi Naganingrum ke
kampunya, tempat lahirnya dahulu.
Hal tersebut dibuktikan pada kutipan,
“pada pagi keesokan harinya,
mereka tiba di sebuah tempat, terletak di tengah-tengah hutan, di mana berdiri
bebapa rumah yang terpencil. Itulah kampung asal Si Lengser.”
“Gusti” kata si Lengser. “Baiklah
gusti beristirahat disini, itung-itung bertapa sementara menunggu kedatangan
putranda. Orang-orang yang tinggal di sini adalah kerabat hamba belaka dan
semua tentu akan mendengar titah gusti dengan patuh. Mereka akan mengabdi
kepada usti seperti hamba sendiri.”
b.
Adisi
(penambahan)
1. “Ia pun disambut
oleh Uwak Batara lengser di kediaman raja yang merupakan sesepuh kepercayaan
Raja.” (Ciung Wanara: 3)
Terdapat penyimpangan penyalinan pada data II, dalam
hal ini tokoh “Uwak Batara Lengser”. Hal itu tidak sesuai dengan data I yang
kami jadikan sebagai landasan. Dua tambahan kata, yakni “Uwak dan Batara”, dua
kata tersbut tidak terdapat dalam data
landasan kami. Hal ini dibuktikan pada kutipan
“Lengser”, katanya memanggil si
Lengser yang setia. Mendengar namanya dipanggil junjungannya, Si Lengser segara
berdatang sembah. (Ciung Wanara: 2)
kutipan di atas merupakan kutipan dari data I (data
landasan). Sangat jelas perbedaan nama tokoh pada kutipan pada data II dan
kutipan pada data I.
2.
“Aria
Kebonan menjadi sombong dan bersikap merendahkan Uwak Batara Lengser. Akan
tetapi, Uwak Batara lengser tidak dapat berbuat apa apa. Prabu Barma Wijaya
Kusumah alias Aria Kebonan pun berani melanggar janji yang lain, ia
memperlakukan permaisuri raja seakan istrinya sendiri.”
(Ciung Wanara: 3)
Kutipan di atas menggambrkan watak dari Aria Kebonan
yang saat itu telah menjadi seorang Raja yang wajahnya dibuat mirip dengan Raja
yang sebenarnya. Kutipan di atas menggambarkan watak Aria Kebonan yang sombong,
angkuh, merendahkan orang lain, dan melanggar janji. Penyimpangan yang terdapat
pada kutipan di atas adalah tokoh Aria Kebonan adalah tokoh yang ditambahan
pada cerita Ciung Wanara. Pada data I, tidak ditemukan adanya tokoh Aria
Kebonan.
3.
“Pada
suatu ketika, Prabu Barma Wijayah Kusumah menjenguk Dewi Naganingrum, lalu bayi
di dalam kandungan permaisuri berkata, "Hai Barma Wijaya kusumah, kamu
sudah banyak melanggar janji dan bahkan berbuat jahat. Kekuasaan tidak akan
berlangsung lama!" Prabu Barma Wijaya Kusuma sangat marah serta sanagt
takut mendengar suara bayi itu.” (Ciung Wanara:
4)
Pada
kutipan di atas menunjukkan bahwa bayi yang ada di dalam kandungan Dewi
Naganingrum berkata kepada Prabu Barma Wijaya Kusuma tentang kejahatan yang ia
lakukan selama ini dan juga memperingatkan kepada Prabu Brama Wijaya bahwa
kekuasaannya tidak akan berlangsung lama.
Kutipan
di atas menunjukkan adanya penyimpangan penambahan dalam cerita “Ciung Wanara”. Pada data I, tidak
terdapat pernyataan tersebut. Pada data I, tidak pernah diceritakan bahwa bayi
yang ada dalam kandungan Dewi Naganingrum berbicara kepada Prabu Barma Wijaya.
Ciung Wanara pertama kali berbicara dengan Prabu Barma Wijaya pada saat Ciung
Wanara berada di istana kerajaan untuk men-nyabung ayamnya dengan ayam Raja.
Perbicangan tersebut terjadi pada saa Ciung Wanara mencari orang tuanya yang
sesungguhnya.
Pernyataan tersebut dibuktikan pada kutipan dalam
data I,
“Ujang, siapakah namamu?” ciung
Wanara segera menghaturkan sembah dengan kaku.
“Adapun nama patik Ciung Wanara”
(Ciung Wanara: 79)
4.
“Maka
di hasutlah Dewi pangrenyep agar mencelakai Dewi Naganingrum dan bayinya.
Mendengar hasutan Raja, Dewi Pangrenyep merasa bahwa anak Dewi Naganingrum
kelak akan menjadi ancaman bagi anaknya untuk menjadi raja, sehingga ia pun
berniat menjadikan anaknya sebagai penerus tahta tunggal kerajaan.”
(Ciung Wanara: 6)
Kutipan
di atas menunjukkan adanya kerja sama antara Dewi Pangrenyep dan Raja. Mereka
bekerjasama untuk mencelakai Dewi Naganingrum. Pada kutipan di atas, menujkkan
adanya penyimpangan dalam hal penambahan. Penyimpangannya terletak pada frasa,
“Maka dihasutlah Dewi Pangrenyep agar mencelakai Dewi Naganingrum”.
Pada
data I, tidak terdapat bahwa mereka berdua bekerjasama untuk mencelakakan Dewi
Naganingrum. Pada data I diceritakan bahwa Dewi Pangrenyep memang memiliki niat
jahat kepada Dewi Nanganingrum dan bayi yang dikandungnya dikarenakan ketamakan
dan juga sifat iri hati. Akan tetapi, tidak diceritakan bahwa Dewi Pangrenyep
dan aja bekerjasama untuk mencelakai Dewi Naganingrum dan bayi yang
dikandungnya.
Pernyataan di atas dibuktikan pada kutipan,
“melihat bahwa bayi madunyapun
lelaki, maka mengembanglah irihati dan ketamakan dalam hati Dewi Pangrenyep.
Setelah diputuskannya tali ari-ari, dibawanya bayi itu ke kandaga yang
dibawanya tadi. Maka dgantikannya bayi itu dengan seekor anjing” (Ciung
Wanara: 25)
c.
Omisi
(penghilangan)
“Tatkala baginda mendengar sembah Patih Purwa Gading dengan patih Gajah Manggala, bahwa ada seekor
ayam yang amat bagus, baginda tertarik dengannya.”
Pada data II, tidak
ditemukan adanya tokoh ‘patih Purwa Gading dan patih Gajah Manggala’. Hal ini
termasuk penyimpangan omisi. Pada data I yang kami jadikan sebagai landasan,
dengan jelas menceritakan kedua tokoh tersebut. Bahkan kedua tokoh tersebut
menjadi sebab bertemunya Ciung Wanara dan Prabu Barma Wijaya Kusuma.
Data III
Setelah kami anilisis data III, terdapat beberapa
penyimpangan pada data III. Baik penyimpangan penambahan, pengurangan, dan
penghilangan. Berikut adalah hasil analisis yang kami lakukan
a.
Penggantian
1.
“Permaisuri pertama bernama Nyimas Dewi
Naganingrum dan yang kedua Nyimas Dewi Pangrenyep.”
Sama halnya dengan data II, pada data III ini
tokoh “Nyimas Dewi Naganingrum” juga mengalami penggantian. Pada data I, kata
“Dewi” tidak terdapat pada cerita data I. hal ini dibuktikan pada kutipan data
I
“Kedua permaisuri baginda adalah wanita pilihan yang
merupakan pasangan yang amat rukun. Yang pertama bernama Pohaci Naganingrum dan
Dewi Pangrenyep.”(Ciung Wanara: 1)
kata “Pohaci” pada data I diganti dengan kata
“Dewi” pada data III. Pengantian tersebut merupakan penyimpangan pada proses
penyalinan.
2.
“Bayi yang sebenarnya di masukkan ke dalam sebuah
keranjang.”
Pada kutipan di atas, terjadi penyimpangan berupa
penggantian kata. Kata “Kandaga” pada data I diganti dengan kata “Keranjang”
pada data III. Secara arti, kata “kandaga” berarti semacam peti yang digunakan
menyimpan barang-barang berharga, sedangkan kata “keranjang” berarti bakul
besar yang anyamannya bakul-bakul kasar (KBBI V During).
Hal ini dibuktikan pada kutipan data I
“Setelah Timbaklarang
mengundurkan diri, maka Dewi Pangrenyep bersiap-siap. Diambilnya kandaga yang
memang sudah disediakannya sejak lama.” (Ciung Wanara:
20)
3.
“Ki Lengser membuatkan sebuah gubug untuk tempat tinggal
Dewi Naganingrum.”
Kutipan
di atas menceritakan tentang Lengser yang membangun sebuah gubuk untuk Dewi
Naganingrum yang dijadikan sebagai tempat tinggalnya. Terdapat penggantian
peristiwa pada kutipan di atas. Pada data I, tidak diceritakan bahwa Lengser
membangun sebuah gubuk untuk tempat tinggal Dewi Naganingrum. Yang ada adalah,
Lengser membawa Dewi Naganingrum ke kampunya, tempat lahirnya dahulu.
Hal tersebut dibuktikan pada kutipan,
“pada pagi keesokan harinya,
mereka tiba di sebuah tempat, terletak di tengah-tengah hutan, di mana berdiri
bebapa rumah yang terpencil. Itulah kampung asal Si Lengser.”
“Gusti” kata si Lengser. “Baiklah
gusti beristirahat disini, itung-itung bertapa sementara menunggu kedatangan
putranda. Orang-orang yang tinggal di sini adalah kerabat hamba belaka dan
semua tentu akan mendengar titah gusti dengan patuh. Mereka akan mengabdi
kepada usti seperti hamba sendiri.”
4.
“Untuk membuktikan
bahwa ia sudah melaksanakan tugasnya, ia membasahi senjatanya dengan darah
binatang buruan yang ia temui di dalam hutan.”
Kutipan di atas menceritakan bahwa untuk membuktikan
ia (Lengser) telah melaksanakan tugasnya, ia membasahi sejatanya dengan darah
binatang buruan yang ia temui di dalam hutan. Terdapat penyimpangan penggantian
peristiwa yang sebenarnya. Peristiwa pada data I berbeda dengan persitiwa pada
data III. Hal ini dibuktikan pada kutipan,
“kemaren orang lewat memikul
kayu, menjinjing iatan daun, memanggul lalang kering buat atap terbirit-birit
lari dari hutan. Kamipun sampai di Bojong Galuh. Tentu tuankupun lebih maklum
bahwa Bojong Galuh bukanlah tempat manusia.” Ucap Lengser “tempat itu tempat
tersohor tempat setan siluman, onom, dan ririwa, jin, dan kuntilanak pada
berpesta. Mereka bernyanyi,
“minta sumsum, minta tulang.
Minta urat, minta saraf,
Minta daging, minta darah,
Minta kulit, minta bulu.
Hati dan mata bagian guah!
“biarlah kalau begitu.tak usah
kau bawa kepala Naganingrum pendurhaka. Biarlah tubuhnya dimakan onom dan
ririwa. Kami gembira bahwa kau bisa pulang dengan selamat.” (Ciung
Wanara: 50)
Kutipan di atas membuktikan adanya penggantian
peristiwa cerita. Tidak ada persitiwa “membasahi senjata dengan darah binatang buruan yang ia temui di dalam
hutan.” yang ada adalah alasan yang diungkapkan Lengser kepada Raja. Ia
mengatakan bahwa Pohaci Naganingrum dimana onom dan ririwa”. Sehingga tidak
perlu ada bukti khusus untuk membuktikan alas an yang diungkapkan Lengser.
5. “Suatu
hari, ia ingin sekali pergi ke Galuh untuk mengembara.”
Kutipan di atas menceritakan bahwa Ciung Wanara
sangat ingin pergi ke Galuh untuk mengembara. Kutipan di atas mengalami
penyimpangan penggantian perstiwa cerita. Pada data I, disebutkan bahwa Ciung
Wanara memang ingin ke Galuh, tapi bukan untuk mengembara; melainkan untuk menyelidiki
asal usulnya, mengadu ayam jagonya dengan ayam raja, sembari mencari identitas
orangtua kandungnya. Pernyataan tersebut dibutikan pada kutipan,
“ingin benar hamba menyelidiki
sendiri asal usul hamba. Hamba akan membawa ayam jago itu. Hamba akan mengadu
ayam jago itu dengan ayam raja.” (Ciung
Wanara: 70)
6.
“Setibanya di kerajaan Galuh. Ia bertemu dengan dua orang
Patih yang bernama Purawesi dan Puragading.”
Kutipan di atas menunjukkan adanya tokoh Purawesi
dan Puragading. Kutipan di atas mengalami penggantian tokoh. Tokoh yang ada
pada data I berbeda dengan tokoh pada data II. Nama tokoh yang benar adalah
Gajah Manggala dan Purwa Gading. Hal ini dibuktikan pada kutipan,
“Pada suatu hari tatkala kedua
orang patih Negara yang bernama Gajah Manggala dan Patih Purwa Gading, lewat di
alun-alun sambil membawa ayam jago mereka yang hendak dipersembahkan kepada
baginda.” (Ciung Wanara: 73)
7.
"Kau berniat untuk menyambung Ayam dengan milikku?
Apa taruhannya?" tanya Raja Galuh.”
Kutipan di atas menceritkan Raja Galuh
bertanya kepada Ciung Wanara, “apakah ia mengadu ayam jago miliknya dengan ayam
jago milik Raja”. Kutipan di atas adalah penggantian cerita yang sebenarnya.
Pada data I, Raja memang sengaja mengundang Ciung Wanara ke istana untuk
mengadu ayam jagonya. Berbeda dengan data II. Hal ini dibuktikan pada kutipan,
“Tatkala baginda mendengar sembah
Patih Purwa Gading dengan patih Gajah Manggala, bahwa ada seekor ayam yang amat
bagus, baginda tertarik dengannya. Segera bersabda” “Segeralah kaubawa anak itu
kemari ! bawa ayamnya sekali ! nanti kita adu dengan ayam kami.”
(Ciung Wanara: 79)
b.
Omisi
(penghilangan)
1.
“Menganggk-angguk kesenangan bagnda menerima sembah
putranda seorang lelaki. Raja memerintahkan Lengser untuk mengumumkan ke
seluruh negeri mengenai berita menggembirakan ini. Maka diadakanlah pesta
Negara di alu-alun negeri, tujuh hari tujuh malam lamanya.” (Ciung Wanara: 3)
Kutipan
di atas diambil dari data I. pada data III, tidak diceritakan mengenai pesta
Negara yang diadakan oleh kerajaan Galuh sebagai bentuk kebahagiaan Raja atas
lahirnya seorang bayi laki-laki yang kelak menjadi penerus Raja.
2.
“Dewi Pangrenyep pun meletakkan sebutir telur
ayam. Ia pun segera menghayutkan bayi tersebut ke sebuah sungai.”
Pada
kutipan di atas diceritakan bahwa Dewi Pangrenyep menghanyutkan bayi Dewi
Naganingrum ke sebuah sungai. Namun tidak disebutkan apa nama sungai tersebut,
bagaimana keadaan sungainya. Terjadi proses penghilangan kata mapun frasa pada
kutipan tersebut. Hal ini berbeda dengan cerita pada data I yang menyebutkan
nama dan keadaan sungai tersebut. Pernyataan tersebut dibuktikan pada kutipan,
“Dengan perasaan puas, Dewi
Pangrenyep menghanyutkan kandaga yang berisi bayi madunya itu di sungai
Citanduy yang kebetulan lagi banjir.”
(Ciung Wanara: 27)
3.
“Suatu hari, mereka berdua pergi ke sebuah sungai untuk
menangkap Ikan. Namun, mereka di kejutkan dengan sebuah keranjang besar berisi
seorang bayi Laki-laki yang sangat lucu dan tampan. Mereka sangat bahagia dan
mereka berpikir bahwa inilah sebuah jawaban dari doanya.”
Kutipan
di atas menggambarkan bahwa mereka (Aki dan Nini) pergi ke sebuah sungau untuk
menangkap ikan. Mereka menemukan bayi yang berada di dalam keranjang besar.
Mereka sangat bahagia dan berpikir bahwa ini adalah jawaban dari doa mereka.
Kutipan di atas mengalami pengurangan peristiwa sebelum mereka pergi ke sebuah
sungai untuk menangkap ikan. Tidak disebutkan bahwa sebelumnya Nini bermimpi
kejatuhan bulan.
Hal ini
berbeda dengan data I, yang menyebutkan bahwa sebelum mereka menemukan bayi di
sungai, Nini bermimpi bulan purnama jatuh di pangkuannya. Hal ini dibuktikan
pada kutipan,
“Aki…aki.. bangun Aki!” kata istrinya samil
menggyah-guyahkan tubuhnya
“Aku mimpi bulan purnama jatuh di pangkuanku!” (Ciung Wanara: 55)
4.
Blak! Blak! Kukuruyuk !
Ayah raja bundapadun ratu !
Lama kandungan satu tahun !
Paraji ibunda ratu !
Meski manis, namun madu !
Dengan malam mata ditutup !
Dengan malam kuping ditutup !
Kedua tangan dibelenggu !
Waltu lahir dalam kandaga hanyut !
Bersama sebutir telur !
Blak ! Blak ! Kukuruyuk !
(Ciung Wanara: 60-61)
Kutipan di atas tidak
diceritakan pada data III. Padahal kutipan tersebut merupakan kutipan yang amat
penting dalam cerita Ciung Wanara karena kutipan tersebut menjadi salah-satu
hal yang membuat identitas Ciung Wanara dikenali oleh Lengser.
c.
Adisi
(penambahan)
1.
“Dalam keadaan marah. Akhirnya, Raja segera
memanggil Penasehat Raja yang bernama Ki Lengser.”
Pada kutipan di atas
terdapat penambahan kata “Ki”. Sedangkan pada data I, tidak ditemukan adanya
kata Ki. Hal ini dibuktikan pada kutipan,
“Ia kemudian menitahkan kepada Lengser untuk
menghabisi nyawa permaisuri kami yang pertama bernama Pohaci Naganingrum yang
menetap di hulunegeri.” (Ciung Wanara: 35)
2.
“Ia pun berharap dapat kembali ke Istana dan
hidup bahagia bersama keluarganya”
Pada kutipan di
atas, diceritakan bahwa Ia (Pohaci Naganingrum) berharap dapat kembali ke Istana
dan hidup bahagia dengan keluarganya. Kutipan di atas adalah kutipan tambahan.
Tidak ditemukan adanya kutipan tersebut pada data I.
3.
“Di simpannya telur Ayam tersebut kepada
seekor Naga yang bernama Nagawiru yang berada di Gunung Padang.”
Pada
kutipan di atas, diceritakan bahwa telur ayam Ciung Wanara diberikan kepada
seekor Naga yang bernama Nagawiru untuk ditetaskan. Terdapat beberapa
penambahan pada kutipan di atas. Pada data I, tidak diceritakan bahwa telur
tersebut disimpan kepada seeokor naga yang bernama Nagawiru.
4. “Dan Ibunya di
asingkan di dalam hutan belantara. Mendengar penjelsan tersebut. Akhirnya,
Ciung Wanara berangkat ke Kerajaan Galuh dengan membawa Ayam Jantan
kesayangannya.”
Pada kutipan di atas diceritakan bahwa
sebelum berangkat ke Galuh, Ciung Wanara diberikan penjelasan mengenai dimana
Ibunya saat ini dan bagaimana keadaannya. Kutipan di atas adalah penyimpangan
dalam hal penambahan kata/frasa/kalimat. Pada data I, tidak diceritakan bahwa
Aki dan Nini mengetahui dimana dan bagaimana keadaan Ibu Ciung Wanara.
5.
“Ciung Wanara datang ke Istana untuk
bertemu dengan Raja. Ia pun membuat kekacauan di depan Istana. Akhirnya,
Baginda segera memerintahkan para pengawal agar Ciung Wanara menghadap.”
Pada kutipan di atas diceritakan bahwa Ciung Wanara membuat kekacauan di
depan istana. Kutipan di atas adalah penyimpangan dalam hal penambahan perstiwa
cerita. Bukan pada tataran kata, namun pada tataran kalimat.
d.
Transposisi
1. “Aki dan Nini memberikan nama Ciung Wanara karena mereka melihat seekor
Monyet yang aneh, Monyet tersebut bernama Wanara. Kemudian mereka pun melihat
seekor Burung yang bernama Ciung. Akhirnya, keduanya sepakat. Nama dari ke dua
binatang tersebut. Akhirnya, di jadikan sebagai nama anaknya.”
Pada kutipan di
atas diceritakan bahwa nama Ciung Wanara diambil dari nama hewan Monyet yang
bernama dan Seekor burung ciung. Kutipan di atas mengalami perubahan posisi
dari cerita pada data I. pada data III ini, penyebutan Monyet (wanara) ini
lebih dahulu dibanding penyebutan burung Ciung. Berbeda dengan data I yang
menyebutkan Ciung terlebih dahulu dibanding penyebutan Wanara. Hal ini
dibuktikan pada kutipan,
“Aki burung apakah itu sangat indah bulunya,
hinggap di dahan yang tinggi nian itu?”..”itulah burung Ciung disebut orang”
jawab Aki. “dan itu, Aki, lihat seekor binatang seekor binatang buntut, lincah
melompat dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, apakah gerangan namany?”
Tanya kanak-kanak. “itulah wanara” sahut Aki. “dinamakan orang pula kera atau
monyet…” (Ciung Wanara: 63)
V.
Penutup dan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan, maka dapat disimpulakn:
1.
Penyimpangan
dalam hal penggantian sebanyak 9 kali. Dengan rincian 2 kesalahan dari data II
dan 7 kesalahan dari data III.
2.
Penympiangan
dalam hal Adisi (penambahan) sebanyak 9 kali. Dengan rincian 4 kesalahan dari
data II dan 5 kesalahan dari data III.
3.
Penyimpangan
dalam hal Omisi (pengurangan) sebanyak 5 kali. Dengan rincian I kesalahan dari
data II dan 4 kesalahan dari data III.
4.
Penyimpangan
dalam hal transposisi sebanyak 1 kali. Penyimpangan tersebut terdapat pada data
III.
5.
Jadi, total
penyimpangan yang terjadi pada saat proses penyalilanan cerita rakyat Ciung
Wanara sebanyak 24 kesalahan.
6.
Penyimpangan
yang ada bukan hanya pada tataran fonem maupun kata saja, melainkan dalam tataran
kalimat.
7.
Penyimpangan
juga terdapat pada alur dan isi cerita
Daftar Pustaka
Baried, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djamaris, Edwar. (2002). Metode Penelitian
Filologi. Jakarta: CV Manasco
KBBI V Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
K.M, Saini. 1992. Cerita Rakyat dari Jawa Barat. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Patimah. 2000. Ensiklopedi
Sunda: Alama, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta:
PT Dunia Pustaka Jawa
Robson. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL
Rosidi, Ajib.1985. Ciung Wanara. Jakarta: Gunung Agung.
http://dongengceritarakyat.com/cerita-rakyat-sunda-dongeng-ciung-wanara/
diakses pada 03 November 2017
http://www.kumpulandongenganak.com/cerita-rakyat-jawa-barat-legenda-ciung-wanara.html
diakses pada 03 November 2017
Top Casinos in Harrah's Gulf Coast | Mapyro
BalasHapusHotels near Harrah's Gulf Coast 태백 출장샵 · Fairfield Inn & Suites by Wyndham Gulf Coast · Wildhorse Inn and Suites by Wyndham 충청북도 출장마사지 Gulf Coast · Fairfield 여주 출장샵 Inn & Suites by Wyndham 천안 출장안마 Gulf Coast. 세종특별자치 출장안마