PENGKAJIAN
PUISI INDONESIA
Hubungan
Intertekstual Sajak Chairil Anwar dengan Sajak Sebagio Sastrowardoyo

DISUSUN
OLEH
Isfan
Fajar
Hikmah
Hajrianti
Zanta
Rante Saludung
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2016-2017
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan Hidayah-Nya ,
sehingga Makalah yang berjudul Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dan
Sajak Subagio Sastrowardoyo ini
dapat di susun dan di persembahkan untuk para generasi muda guna meningkatkan
pengetahuan tentang mata kuliah Pengkajian Puisi Indonesia. Diharapkan Makalah
ini mampu menjawab keingintahuan anda
tentang “ Pengkajian Puisi Indonesia “.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
dan isi dari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, olehnya itu kritik dan
saran yang sifatnya membangun, tetap senantiasa diharapkan demi kesempurnaan karya
berikutnya. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Dosen
Pengampu Matakuliah Pengkajian Puisi Indonesia
2. Rekan-rekan
Mahasiswa yang selalu memotivasi sehingga saya dapat berkarya demi sebuah
kemajuan.
Semoga
makalah dapat bermanfaat bagi kita semua,Amin.
Makassar, 26 SEPTEMBER 2017
Penulis
Hubungan
Intertekstual Sajak Chairil Anwar dengan Sajak Sebagio Sastrowardoyo
Chairil Anwar sebagai penyair pelopor Angkatan 45,
sajak-sajaknya banyak mempengaruhi sajak-sajak penyair sezaman dan sesudahnya.
Oleh karena itu, seringkali untuk memahami sajak-sajak penyair sesudahnya perlu
dilihat hubungan intertekstualnya dengan sajak Chairil Anwar. Yang berikut
dibicarakan hubungan intertekstual sebuah sajak Chairi Anwar yang merupakan hypogramnya dengan sajak-sajak penyair
sesudahnya. Sajak Chairil Anwar yang menjadi hipogram (hypogram) ini ialah “Kepada Peminta-Minta”. Sajak ini sendiri
merupakan saduran puitis dari sajak “Tot den Arme” karya penyair Belanda Willem
Elschot (Jassin, 1978: 34,82,83).
Kepada Peminta-Minta
Baik, baik,
aku akan menghadap dia
Menyerahkan
diri dan segala dosa
Tapi jangan
tentang lagi aku
Nanti darahku
jadi beku
Janga lagi
kamu bercerita
Sudah tercacar
semua di muka
Nanah meleleh
dari muka
Sambil
berjalan kau usap juga
Bersuara tiap
kau melangkah
Mengerang tiap
kau memandang
Menetes dari
suasana kau datang
Sembarang kau
merebah
Mengganggu
dalam mimpiku
Menghempas aku
di bumi keras
Di bibirku
terasa pedas
Mengaum di
telingaku.
Baik, baik,
aku akan menghadap Dia
Menyerahkan
diri dan segala dosa
Tapi jangan
tentang lagi aku
Nanti darahku
jadi beku
(Deru Campur Debu, 1959:17)
Dalam sajak ini,
si aku yang merasa berdosa kepada Dia (karena telah membiarkan si peminta-minta
sangat menderita), ingin menyerahkan diri dan segala dosanya, namun si aku yang
sudah sangat sadar akan dosanya itu minta kepada si peminta-minta itu jangan
memandangnyabegitu rupa hingga akan membekukan darah si aku (bait ke- 1-5).
Rasa dosa si aku itu dirasa sebagai cacar yang bernanah, meleleh di muka si
peminta-minta, maka sudah sangat jelas, bahkan tak terderitakan lagi (bait
ke-2,3,4). Tatapan mata si peminta-minta yang membangkitkan rasa dosa si aku
dan penderitaan si peminta-minta itu menjadi hipogram sajak-sajak yang berikut
Rasa Dosa
(Subagio
Sastrowardoyo)
Muka putih di jendela
Mengikui aku dari subuh
Semua kekal
Nyawa
Jejak membekasdi lumpur hati
Kata
Suara bergema di ruang abadi
Tangan
Jari gemetar menyapu sajak
Mata
Kenangan akhir membakar diri
Muka putih di jendela
Mengikat aku dari subuh
Tanganku lumpuh
(Simphoni, 1975:18)
Si aku dalam
sajak Subagio pun merasa berdosa karena diikuti muka putih di jendela sejak
subuh (bait pertama). Muka putih itu mengkiaskan orang suci yang member
peringatan kepada si aku akan dosanya. Si aku merasa terus diikuti oleh si muka
putih. Segala keberadaan si muka putih: bagian tubuh dan kata-katanya menjadi
kekal dalam diri si aku. Semua kekal: nyawa, kata, tangan, dan matanya. “Semua
mengganggu dalam mimpiku” (bait ke-4 sajak Chairil). Semua keberadaan si muka
putih itu terasa oleh si aku: nyawanya mengusik (membekas) di lumpur hatinya
(hatinya yang penuh dosa); suara katanya selalu bergema member peringatan dalam
hati si aku (di ruang abadi si aku); tangannya menuliskan kebenaran (gemetar
menyaput sajak); dan yang terakhir tatapan matanya membakar diri si aku
(Chairil: jangan tentang lagi aku / nanti darahku jadi beku). Semuanya itu
membangkitkan rasa dosa si aku hinga tidak dapat berbuat apa-apa: “tanganku
lumpuh”. Bait terakhir: muka putih di jendela / mengikuti aku dari subuh //
tanganku lumpuh. Seperti halnya bait terakhir sajak Chairil Anwar: Tapi jangan
tentang lagi aku / nanti darahku jadi beku //. Karena hebatnya rasa dosa,
ditatap peminta-minta itu darah si aku menjadi beku, “tangannya lumpuh” tak
dapat berbuat apa-apa.
Jadi, dengan
uraian singkat ini, ternyata bahwa makna sajak Subagio Sastrowardoyo itu akan
menjadi lebih jelas maknanya secara intertekstual dengan sajak Chairil Nawar
“Kepada Peminta-Minta” sebagai hipogramnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar