Senin, 11 Desember 2017

Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dengan Sajak Sebagio Sastrowardoyo

PENGKAJIAN PUISI INDONESIA
Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dengan Sajak Sebagio Sastrowardoyo

Berkas:Logo Besar unm.png
DISUSUN
OLEH
Isfan Fajar
Hikmah Hajrianti
Zanta Rante Saludung

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2016-2017




KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan Hidayah-Nya , sehingga Makalah yang berjudul  Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dan Sajak Subagio Sastrowardoyo  ini dapat di susun dan di persembahkan untuk para generasi muda guna meningkatkan pengetahuan tentang mata kuliah Pengkajian Puisi Indonesia. Diharapkan Makalah ini mampu menjawab keingintahuan  anda tentang “ Pengkajian Puisi Indonesia “.
            Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan isi dari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, olehnya itu kritik dan saran yang sifatnya membangun, tetap senantiasa diharapkan demi kesempurnaan karya berikutnya. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :  
1.      Dosen Pengampu Matakuliah Pengkajian Puisi Indonesia
2.      Rekan-rekan Mahasiswa yang selalu memotivasi sehingga saya dapat berkarya demi sebuah kemajuan.
Semoga makalah dapat bermanfaat bagi kita semua,Amin.

Makassar, 26 SEPTEMBER 2017

                                                                                                                        Penulis







Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dengan Sajak Sebagio Sastrowardoyo

Chairil Anwar sebagai penyair pelopor Angkatan 45, sajak-sajaknya banyak mempengaruhi sajak-sajak penyair sezaman dan sesudahnya. Oleh karena itu, seringkali untuk memahami sajak-sajak penyair sesudahnya perlu dilihat hubungan intertekstualnya dengan sajak Chairil Anwar. Yang berikut dibicarakan hubungan intertekstual sebuah sajak Chairi Anwar yang merupakan hypogramnya dengan sajak-sajak penyair sesudahnya. Sajak Chairil Anwar yang menjadi hipogram (hypogram) ini ialah “Kepada Peminta-Minta”. Sajak ini sendiri merupakan saduran puitis dari sajak “Tot den Arme” karya penyair Belanda Willem Elschot (Jassin, 1978: 34,82,83).
Kepada Peminta-Minta
Baik, baik, aku akan menghadap dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Janga lagi kamu bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

                        (Deru Campur Debu, 1959:17)

Dalam sajak ini, si aku yang merasa berdosa kepada Dia (karena telah membiarkan si peminta-minta sangat menderita), ingin menyerahkan diri dan segala dosanya, namun si aku yang sudah sangat sadar akan dosanya itu minta kepada si peminta-minta itu jangan memandangnyabegitu rupa hingga akan membekukan darah si aku (bait ke- 1-5). Rasa dosa si aku itu dirasa sebagai cacar yang bernanah, meleleh di muka si peminta-minta, maka sudah sangat jelas, bahkan tak terderitakan lagi (bait ke-2,3,4). Tatapan mata si peminta-minta yang membangkitkan rasa dosa si aku dan penderitaan si peminta-minta itu menjadi hipogram sajak-sajak yang berikut

            Rasa Dosa
(Subagio Sastrowardoyo)

Muka putih di jendela
Mengikui aku dari subuh

Semua kekal

Nyawa
Jejak membekasdi lumpur hati

Kata
Suara bergema di ruang abadi

Tangan
Jari gemetar menyapu sajak

Mata
Kenangan akhir membakar diri

Muka putih di jendela
Mengikat aku dari subuh

Tanganku lumpuh
                                    (Simphoni, 1975:18)


Si aku dalam sajak Subagio pun merasa berdosa karena diikuti muka putih di jendela sejak subuh (bait pertama). Muka putih itu mengkiaskan orang suci yang member peringatan kepada si aku akan dosanya. Si aku merasa terus diikuti oleh si muka putih. Segala keberadaan si muka putih: bagian tubuh dan kata-katanya menjadi kekal dalam diri si aku. Semua kekal: nyawa, kata, tangan, dan matanya. “Semua mengganggu dalam mimpiku” (bait ke-4 sajak Chairil). Semua keberadaan si muka putih itu terasa oleh si aku: nyawanya mengusik (membekas) di lumpur hatinya (hatinya yang penuh dosa); suara katanya selalu bergema member peringatan dalam hati si aku (di ruang abadi si aku); tangannya menuliskan kebenaran (gemetar menyaput sajak); dan yang terakhir tatapan matanya membakar diri si aku (Chairil: jangan tentang lagi aku / nanti darahku jadi beku). Semuanya itu membangkitkan rasa dosa si aku hinga tidak dapat berbuat apa-apa: “tanganku lumpuh”. Bait terakhir: muka putih di jendela / mengikuti aku dari subuh // tanganku lumpuh. Seperti halnya bait terakhir sajak Chairil Anwar: Tapi jangan tentang lagi aku / nanti darahku jadi beku //. Karena hebatnya rasa dosa, ditatap peminta-minta itu darah si aku menjadi beku, “tangannya lumpuh” tak dapat berbuat apa-apa.

Jadi, dengan uraian singkat ini, ternyata bahwa makna sajak Subagio Sastrowardoyo itu akan menjadi lebih jelas maknanya secara intertekstual dengan sajak Chairil Nawar “Kepada Peminta-Minta” sebagai hipogramnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar