Senin, 11 Desember 2017

Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dengan Sajak Sebagio Sastrowardoyo

PENGKAJIAN PUISI INDONESIA
Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dengan Sajak Sebagio Sastrowardoyo

Berkas:Logo Besar unm.png
DISUSUN
OLEH
Isfan Fajar
Hikmah Hajrianti
Zanta Rante Saludung

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2016-2017




KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan Hidayah-Nya , sehingga Makalah yang berjudul  Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dan Sajak Subagio Sastrowardoyo  ini dapat di susun dan di persembahkan untuk para generasi muda guna meningkatkan pengetahuan tentang mata kuliah Pengkajian Puisi Indonesia. Diharapkan Makalah ini mampu menjawab keingintahuan  anda tentang “ Pengkajian Puisi Indonesia “.
            Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan isi dari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, olehnya itu kritik dan saran yang sifatnya membangun, tetap senantiasa diharapkan demi kesempurnaan karya berikutnya. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :  
1.      Dosen Pengampu Matakuliah Pengkajian Puisi Indonesia
2.      Rekan-rekan Mahasiswa yang selalu memotivasi sehingga saya dapat berkarya demi sebuah kemajuan.
Semoga makalah dapat bermanfaat bagi kita semua,Amin.

Makassar, 26 SEPTEMBER 2017

                                                                                                                        Penulis







Hubungan Intertekstual Sajak Chairil Anwar dengan Sajak Sebagio Sastrowardoyo

Chairil Anwar sebagai penyair pelopor Angkatan 45, sajak-sajaknya banyak mempengaruhi sajak-sajak penyair sezaman dan sesudahnya. Oleh karena itu, seringkali untuk memahami sajak-sajak penyair sesudahnya perlu dilihat hubungan intertekstualnya dengan sajak Chairil Anwar. Yang berikut dibicarakan hubungan intertekstual sebuah sajak Chairi Anwar yang merupakan hypogramnya dengan sajak-sajak penyair sesudahnya. Sajak Chairil Anwar yang menjadi hipogram (hypogram) ini ialah “Kepada Peminta-Minta”. Sajak ini sendiri merupakan saduran puitis dari sajak “Tot den Arme” karya penyair Belanda Willem Elschot (Jassin, 1978: 34,82,83).
Kepada Peminta-Minta
Baik, baik, aku akan menghadap dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Janga lagi kamu bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.

Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

                        (Deru Campur Debu, 1959:17)

Dalam sajak ini, si aku yang merasa berdosa kepada Dia (karena telah membiarkan si peminta-minta sangat menderita), ingin menyerahkan diri dan segala dosanya, namun si aku yang sudah sangat sadar akan dosanya itu minta kepada si peminta-minta itu jangan memandangnyabegitu rupa hingga akan membekukan darah si aku (bait ke- 1-5). Rasa dosa si aku itu dirasa sebagai cacar yang bernanah, meleleh di muka si peminta-minta, maka sudah sangat jelas, bahkan tak terderitakan lagi (bait ke-2,3,4). Tatapan mata si peminta-minta yang membangkitkan rasa dosa si aku dan penderitaan si peminta-minta itu menjadi hipogram sajak-sajak yang berikut

            Rasa Dosa
(Subagio Sastrowardoyo)

Muka putih di jendela
Mengikui aku dari subuh

Semua kekal

Nyawa
Jejak membekasdi lumpur hati

Kata
Suara bergema di ruang abadi

Tangan
Jari gemetar menyapu sajak

Mata
Kenangan akhir membakar diri

Muka putih di jendela
Mengikat aku dari subuh

Tanganku lumpuh
                                    (Simphoni, 1975:18)


Si aku dalam sajak Subagio pun merasa berdosa karena diikuti muka putih di jendela sejak subuh (bait pertama). Muka putih itu mengkiaskan orang suci yang member peringatan kepada si aku akan dosanya. Si aku merasa terus diikuti oleh si muka putih. Segala keberadaan si muka putih: bagian tubuh dan kata-katanya menjadi kekal dalam diri si aku. Semua kekal: nyawa, kata, tangan, dan matanya. “Semua mengganggu dalam mimpiku” (bait ke-4 sajak Chairil). Semua keberadaan si muka putih itu terasa oleh si aku: nyawanya mengusik (membekas) di lumpur hatinya (hatinya yang penuh dosa); suara katanya selalu bergema member peringatan dalam hati si aku (di ruang abadi si aku); tangannya menuliskan kebenaran (gemetar menyaput sajak); dan yang terakhir tatapan matanya membakar diri si aku (Chairil: jangan tentang lagi aku / nanti darahku jadi beku). Semuanya itu membangkitkan rasa dosa si aku hinga tidak dapat berbuat apa-apa: “tanganku lumpuh”. Bait terakhir: muka putih di jendela / mengikuti aku dari subuh // tanganku lumpuh. Seperti halnya bait terakhir sajak Chairil Anwar: Tapi jangan tentang lagi aku / nanti darahku jadi beku //. Karena hebatnya rasa dosa, ditatap peminta-minta itu darah si aku menjadi beku, “tangannya lumpuh” tak dapat berbuat apa-apa.

Jadi, dengan uraian singkat ini, ternyata bahwa makna sajak Subagio Sastrowardoyo itu akan menjadi lebih jelas maknanya secara intertekstual dengan sajak Chairil Nawar “Kepada Peminta-Minta” sebagai hipogramnya.

PENGARANG, PENYALIN, DAN PENCERITA

PENGARANG, PENYALIN, DAN PENCERITA

1.1  Pokok Bahasan         : Pengarang, Penyalin, dan Pencerita
1.2 Subpokok Bahasan   : 1. Pengarang dan Pembaca
                                            2. Pengarang dan Pencerita
                                            3. Pemilihan Jenis Pencerita dan Efeknya
                                            4. Teori Benisson Gray Tentang Pencerita
                                            5. Hubungan antara Pencerita, Tokoh, dan Pembaca
1.3 Jam Pertemuan         : 2 × 50 menit (satu kali pertemuan)
1.4 Tujuan Umum Pengajaran:
      Mahasiswa memiliki pengetahuan tentang: apa itu pengarang, penyalin, dan pencerita;       mengetahui tentang efek dari pemilihan jenis cerita; dan mengetahui teori Benisson Gray    tentang pencerita.
1.5 Tujuan Khusus Pengajaran
1)      Mahasiswa dapat menjelaskan tentang pengertian pengarang, penyalin dan pencerita
2)      Mahasiswa dapat menjelaskan tentang hubungan pengarang dan pembaca
3)      Mahasiswa dapat menjelaskan tentang hubungan pengarang dan pencerita
4)      Mahasiswa dan menjelaskan tentang efek dari pemilihan jenis cerita
5)      Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan tentang teori Benisson Gray mengenai pencerita
1.6 Materi Pelajaran
1.6.1 Pengarang dan Pembaca
       Karya sastra lama yang digemari atau dihargai tinggi biasanya direkam di dalam bentuk naskah. Teks naskah itu akan disalin berulang-ulang sehingga menimbulkan turunan yang banyak. Di dalam melakukan tugasnya itu, penyalin merasa memiliki kebebasan untuk menambah pada cerita yang disalinnya itu. Mengurangi hal-hal yang dirasanya tidak perlu ada di dalam cerita, dan mengubah cerita di sana sini agar lebih sesuai dengan seleranya atau selera masyarakat. Kolofon syair Kerajaan Bima, misalnya berbunyi sebagai berikut:
       Tamatlah sudah syair ini kepada tarik sanat 1274 al-dar akhir pada empathari bulan Syafar pada hari kamis dewasa itulah kehabisan tulis ini oleh seorang fakir alhakir ismuhu Muhammad Hasan yang tinggal di negeri Bima kampong Melayu peranan, Mengkasar adanya. Syahdan yang menyuruhnya tuan Misor yang tinggal di dalam negeri Bima kampong Benteng adanya.
1.6.2 Pengarang dan Pencerita
       Si pencerita adalah tokoh utama yang bercerita tentang dirinya sendiri dan tentang tokoh-tokoh lain di dalam cerita itu. Misalnya, Hiroko di dalam Namaku Hiroko (Dini, 1977b) adalahtokoh utama yang menjadi pencerita. Boleh jadi si pencerita adalah tokoh bawahan; misalnya Alimin di dalam Tuyed (Rusuanto, 1978) adalah tokoh bawahan yang dekat dengan tokoh utama. Di dalam kedua hal itu si pencerita ada di dalam cerita. Kemungkinan ketiga bahwa si pencerita ada di luar cerita; ia bukan tokoh cerita itu. Misalnya, pencerita di dalam Salah Asuhan (Moeis, 1981).
       Apakah yang bercerita itu bukan si pengarang? Bukankah pengarang yang empunya cerita; Jadi, dialah yang bercerita? Dengan sendirinya pengarang itu juga pencerita. Demikianlah anggapan orang pada mulanya. Setelah ditelaah lebih cermat, ternyata tidak selalu pencerita dan pengarang itu identik. Di dalam outobiografi seperti Hikayat Abdullah memang benar pengarang sendiri yang bercerita. Akan tetapi, bagaimana dengan novel karya NH. Dini Pada Sebuah Kapal (1985); disitu ada dua orang pencerita, yaitu Sri pada bagian I dan Michael pada bagian II. Jadi, pengarang Dini identik dengan siapa? Dini pun mengarang novel-novel lainnya; misalnya Namaku Hiroko (Dini, 1977b) dengan tokoh utama merangkap pnecerita Hiroko, Keberangkatan (Dini, 1977a) dengan tokoh utama merangkap pencerita Elisa Frissat. Jadi, Dini identik dengan siapa?
       Ada alasan lain membedakan pengarang dan pencerita. Tidak dapat disangkal bahwa sebuah cerita rekaan adalah ciptaan pengarang, dan wujudnya dipengaruhi oleh pengalaman hidup pengarang. Namun, apa yang ada di dalam sebuah cerita rekaan tidak sama dengan apa yang ada di dalam kehidupan seorang wanita dengan wanita itu sebagai pencerita, misalnya Pengakuan Pariyem dengan pengarangnya Linus Surtadi (1981). Sebaliknya, seorang pengarang wanita dapat mengetengahkan kisah hidup seorang pria seperti yang dilakukan oleh NH. Dini di dalam Pada Sebuah Kapal (1983).
       Cerita rekaan adalah yang direka tokoh-tokohnya. Alurnya, latar rekaan semata-mata, juga penceritanya. Pencerita diciptakan pengarang dengan tugas membawakan cerita yang disusunnya. Pemgarang bahkan dapat menciptakan lebih dari seorang pencerita di dalam cerita rekaannya. Di dalam Raomanen (Katopo, 9171), Marianne Katopnou menghadirkan tiga orang pencerita; Manen dan Monan yang berada di dalam cerita seorang pencerita tak bernama yang ada di luar cerita.
1.      Pencerita Akuan
       Di dalam autobiografi selalu terdapat pencerita akuan. Di dalam kesusastraan Indonesia agaknya Abdullah binAbdul Kadir Manshi yang mula-mula menggunakan pencerita akuan, yaitu di dalam karyanya Hikayat Abdullah (1963). Di dalam Tuyed (Rasuanto, 1978) kita bertemu dengan pencerita akuan Alimin; ia tokoh yang bercerita kepada pembaca. Di dalam Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati (Djamin, 1976) kita bertemu dengan dua orang pencerita akuan yang berganti-ganti membawakan cerita, yaitu Fuyuko dan Talib. Fuyuko sebagai pencerita ikut berperan di dalam cerita, bahkan menjadi tokoh utama dalam cerita. Ia disebut pencerita akuan sertaan. Adapun Talib tidakmikut “Main” di dalam cerita, melainkan lebih berperan sebagai pendengar atau penonton. Antara dia dan tokoh-tokoh seolah-olah ada jarak. Pencerita semacam ini disebut pencerita akuan taksertaan adalah kadar keterlibatannya dalam cerita.
       Di dalam novel Atheis (Miharja, 1976) kita bertemu dengan dua pencerita akuan juga, yang seorang menggunakan kata aku, tokoh Hasan dan merupakan pencerita akuan sertaan. Ia berperan penting di dalam cerita bahkan menjadi tokoh utama cerita seorang lagi mengacu pada dirinya sendiri dengan kata saya.
       Pencerita akuan banyak digunakan dalam karya sastra modern karena subjektivitasnya menimbulkan suasana akrab. Pencerita terlalu langsung membukakan diri kepada pembaca sehingga pembaca merasa terlibat lanhsung di dalam permasalahan atau peristiwa yang dialami tokoh yang bercerita itu. Bagi tokoh yang kontemplatif suka merenung, berpikir-pikir, penuh kebimbangan dan perjuangan batin, kisahan akuan yang paling tepat.


2.      Penceritan Diaan
      Pencerita diaan dapat dibedakan atas beberapa tipe berdasarkan kebebasan gerak si pencerita.
a.       Penceritaan diaan serba tau, yaitu oencerita diaan yang tau segala sesuatu tentang semua pelaku/tokoh dan persitiwa yang berlaku dalam cerita. Ia bebas bergerak di dalam ruang dan waktu. Dapat menyoroti tokoh manapun serta mengisahkan apa yang dianggap perlu tentang percakapan dan akuan para tokoh.
Penceritaan diaan serba tau ini ada yang tidak sekedar berkisah; ia juga secara bebas member komentar dan serta menyampaikan penilaiannya tentang sikap tindakan dan kehendak tokoh serta menyatakan pandangannya sendiri tentang hidup ini adalakalanya ia bertindak ekstrem dengan memotong kisahan yang sedang dibawakannya untuk menyisipkan jejangan, peringatan, atau sindiran yang bersifat moral/falsafah. Interaksi semacam itu bukannya harus ada. Di dalam karya sastra modern jarang digunakan.
b.      Namun, ada juga pencerita diaan yang lebih objektif dan impersonal di dalam bercerita. Ia membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatic yang dapat diamatinya kapan saja tanpa menggunakan kewenangannya memasuki pikiran dan batin tokoh. Pencerita diaan seperti ini disebut pencerita diaan terbatas.

1.6.3        Pemilihan Jenis Pencerita dan Efeknya
       Kedua sudut pandang ini/sudut pandang mencerita akuan dan sudut pandang pencerita diaan tentu ada segi baik dan buruknya. Pencerita akuan hanya dapat menyampaikan apa yang diketahui dan dialami sendiri saja sama anggapan dan kesimpulan dia sendiri. Keuntungannya ialah bahwa hubungan di antara pencerita, cerita dan pembaca menjadi akrab. Tokoh langsung bercerita kepada pembaca tanpa merasa terganggu oleh adanya orang lain yang bertindak sebagai perantara.
       Pencerita diaan menghasilkan kisahan yang lebih bebas sifatnya. Karena pencerita berada di luar cerita, dengan bebas ia dapat berpindah kesana kemari, menyoroti tokoh-tokoh dan lakuan mereka dari segala sudut.
Pencerita diaan bersifat terbatas ketika berkisah tentang Monan, Anton, dan tokoh-tokoh lain kecuali Manen:
“Pertemuan yang kurang menggembirakan” kata Anton ketika mereka keluar dari kedai satu itu. Anton melirik kepada Manen.
(Katopo, 1977: 50)
 “Aku turun di Jalan Riau saja Non” kata Anton tiba-tiba dalam mobil. “Baru kuingat masih ada urusanku yang belum selesai.
(Katopo, 1977: 36)
Monan berdiri di hadapannya. Memegang tangannya. “Dingin betul tanganmu…kau sakit? Ada apa sebetulnya?” pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan seraya menoleh ke belakang, kea rah rumah itu.
(Katopo, 1977: 69)
Pencerita diaan bersifat serba tau ketika berkisah tentang Manen:
“Ia takut kepergok ibunya, pikir Manen. Lucu… orang ini sungguh lucu. Sudah dewasa, sudah bekerja, sudah segala-galanya… dan masih takut kepergok ibunya waktu berbicara dengan pacarnya.”
(Katopo, 1977: 69)
“Aku ada perlu denganmu, Monang. Ada yang hendak kubicarakan… …” Suara Manen lesu. Rasanya lidahnya berat sekali, seakan-akan otot-otonya semua sudah melebar menjadi air. Aneh sekali perasaannya barangkali dia sakit.
(Katopo, 1977: 69)
        Kasihan yang serba tau tentang Manen ini membedakan Manen dari tokoh-tokoh lainnya dan mendukung peranannya sebagai tokoh utama cerita.
        Pembawaaan cerita dengan sudut pandang pencerita yang berganti-ganti kita dapati juga di dalam Atheis (Miharja, 1976). Di bagian satu kita jumpai saya yaiut pencerita yang bersama-sama Kartini dan Rusli mencari keterangan Ihwal Hasan. Saya di situ terlibat di dalam cerita sebagai tokoh bawahan; ia menjadi pencerita akuan sertaan. bagian dua mengisahkan pertemuan saya dengan Hasan, saya juga masih menjadi pencerita akuan sertaan. Pertemuan itu berakhir dengan penyerahan naskah autobiografi Hasan kepada saya. Di bagian tiga sampai dengan bagian dua belas pencerita bukan lagi saya melainkan aku yaitu tokoh Hasan sebagai tokoh utama. Sekarang Hasan menjadi pencerita  akuan sertaan. Di dalam bagian tiga belas ini khususnya bab 4 dan bab 5 terlihat perubahan fungsi saya dari pencerita akuan sertaan menjadi pencerita akuan taksertaan. Artinya saya mengundurkan diri dalam cerita; ia tidak lagi terlibat di dalam cerita dan menjadi seorang pengamat. Di dalam bagia empat belas semakin jelas pencerita itu berada diluar cerita, dan tampak perubahan fungsinya dari pencerita akuan menjadi pencerita diaan. Jelasnya, pencerita sekarang tidak lagi berada di dalam cerita. Pencerita itu akhirnya mengacu kepada tokoh-tokoh di dalam cerita dengan kata ganti dia. Keadaan ini dimungkinkan oleh sifat pencerita saya yang anonym. Keanoniman ini juga yang menyebabkan orang sering menyamakan pencerita saya itu dengan pengarang novel Atheis.

1.6.4        Teori Benisson Gray Tentang Pencerita
       Yang agak tegas mengemukakan teori tentang pengarang dan pencerita ialah Bennison Gray. Di dalam bukunya yang berjudul The Phenomenon of Literarure. Gray membedakan pengarang sebagai unsure ekstrinsik dan pencerita sebagai unsur intrinsic sebuah karya sastra. Selanjutnya, Gray membedakan pencerita orang pertama (First Person Narrator) dan pencerita orang ketiga (Third Person Narrator) (Gray, 1975: 328-340). Pencerita orang pertama dibaginya menjadi orang pertama sertaan (First Person-Participant) dan orang pertama tak sertaan (First Person Nomparticipant) (Gray, 1975: 330-335) pencerita orang ketiga dibaginya menjadi pencerita orang ketiga serba tahu (Third Person Omniscient Narrator) dan pencerita orang ketiga terbatas (Restricted Third Person Narrator) (Gray, 1975: 337-339). Yang terakhir ini hanya mengamati tokoh dan peristiwa dari luar cerita (Gray, 1976: 328-340).

1.6.5        Hubungan Antara Pencerita, Tokoh, dan Pembaca
       Dengan singkat dapat dirasakan bahwa ada 3 kepentingan hubungan pencerita dengan tokoh, yaitu pencerita lebih tahu daripada tokoh, pencerita sama pengetahuannya dengan tokoh dan pencerita pula kurang pengetahuannya daripada tokoh.
       Baik pencerita diaan serba tahu maupun penerita diaan terbatas berada diluar cerita. Terutama didalam hal pencerita diaan serba tahu pembaca tetap sadar bahwa seorang yang berada di luar cerita mengisahkan apa yang berlaku di dalam cerita.
       Adapun penceritaan dengan menggunakan sudut pandang tokoh yang ada dalam cerita membuat pembaca seolah-olah berperan serta, ikut mengalami peristiwa-perstiwa yang dibebankan kepadanya.

1.7      Evaluasi
1)      Bagaimana hubungan pengarang, penyalin, dan pencerita?
2)      Apa efek dari pemilihan jenis pencerita?
3)      Kapan penceritaan Akuan maupun pecerita dian digunakan?
4)      Dimana letak perbedaan antara pengarang dan pencerita?
5)      Bagaimana penjelasan teori tentang pengaran dan pencerita menurut Benisson Gray?

1.8      Kepustakaan
Juanda. 2006. Pengkajian Prosa Fiksi. Makassar: FBS Universitas Negeri Makassar













ANALISIS TUJUH UNSUR KEBUDAYAAN
DALAM NOVEL ERAU KOTA RAJA
(Karya Endik Koeswoyo)


OLEH:

Nama                             : Isfan Fajar
NIM                     : 1551141027
Prodi                    : Bahasa dan Sastra Indonesia
Mata Kuliah                   : Manusia dan Kebudayaan
Dosen Pengampu : Suarni Syam Saguni S.S., M.Hum

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

ANALISIS TUJUH UNSUR KEBUDAYAAN
DALAM NOVEL ERAU KOTA RAJA
(Karya Endik Koeswoyo)


Isfan Fajar
Program Studi Bahasa Sastra Indonesia
Universitas Negeri Makassar


Abstrak

Penelitian ini mengangkat objek penelitian novel yang berjudul Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo. Latar belakang analisis yang dilakukan didasari oleh keberagaman budaya Nusantara yang mengemban isi sangat kaya. Keberagaman tersebut dapat ditemukan pada sebuah novel yang menceritakan tentang beberapa unsur kebudayaan, seperti sistem pengetahuan, sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia, sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem organisasi kemasyarakatan, dan kesenian.

Kata kunci: analisis; unsur kebudayaan; Erau Kota Raja; sistem pengetahuan; sistem peralatan dan perlengkapan hidup; sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi; sistem organisasi kemasyarakatan; kesenian.


A.    PENDAHULUAN
Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya manusia dan kehidupan sebagai mediumnya (Semi, 1993: 8).
Karya sastra merupakan gambaran kehidupan sosial masyarakat karena pengarang merupakan bagian dari masyarakat (Wardani, 2009). Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra yang menyajikan hasil pemikiran melalui wujud penggambaran pengalaman konkret manusia dalam bentuk cerita yang cukup panjang (Yudiono, 1990).
Manusia sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Begitupun sebaliknya. Manusia yang membuat kebudayaan. Dan hampir setiap tingkah laku manusia itu adalah kebudayaan. Dalam sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai dwitunggal. Maksudnya adalah walaupun keduanya berbeda, tetapi keduanya merupakan suatu kesatuan. Manusia menciptakan kebudayaan, dan setelah kebudayaan itu tercipta maka kebudayaan mengatur hidup manusia agar sesuai dengannya. Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
Novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo ini berkisah tentang Kirana yang bekerja sebagai seorang jurnalis majalah seni dan budaya kenamaan sedan galau akut memikirkan soal jodoh. Bagi seorang wanita, usia biasanya menjadi bom waktu yang bisa menghancurkan semuanya, termasu kisah cinta yang sudah dibangunna selama 4 tahun belakangan. Dalam kegamangan hidupnya, Kirana mendapat tugas meliput Festival ERAU di Kutai Kartanegara. Belum genap 4 hari di kora Raja, Kira kagum dengan sosok Reza, pemuda desa yang dianggapnya cerdas dan pintar. Pemuda itu lulusan kedokteran, namun tidak ingin bekerja di kota karena ingin mengabdi dan menjadi orang yang bermanfaat untuk desa. Walaupun hal itu membuat hubungannya dengan ibunya menjadi renggang. Bu Tati, Ibu Reza menginginkan agar Reza ke Kota untuk bekerja di rumah sakit, namun Reza menolak. Kirana dan Reza selalu pergi bersama untuk mengunjungi tempat-tempat yang bersejarah, tempt yang indah, dan saat Festival Erau sedang berlangsung.  
Unsur-unsur kebudayaan yang terdapat dalam novel Erau Kota Raja menarik untuk dianalisis. Hal tersebut dapat dilihat dari jalan cerita tokoh yang diberikan tugas untuk meliput festival Erau di Kutai Kartanegara. Pengarang menampilkan beberapa unsur kebudayaan dengan jelas, lengkap dengan sejarah maupun asal usul suatu kebudayaan maupun kesenian yang ada.
Novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo dipilih menjadi objek penelitian/analisis berdasarkan beberapa pertimbangan, di antaranya: ditonjolkan mengenai asal usul suatu kebudayaan dan kesenian, ceritanya dibaluti dengan kisah percintaan dan juga mencari tentang makna ‘jodoh’.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari analisis ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) unsur-unsur kebudayaan yang terdapat pada novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo, (2) sejarah dan perkembangan Festival Erau.
Manfaat penelitian ini adalah bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan tentang kebudayaan dan kesenian yang ada di kota Kutai Kartanegara, terutama kebudayaan Erau. Bagi pembaca khususnya peminat karya sastra, penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan tentang kebudayaan yang ada di Nusantara yang dituangkan dalam bentuk novel sehingga bisa lebih menikmati karya sastra yang berbentuk novel.

B.     METODE PENELITIAN
Metode analisis yang digunakan untuk mengkaji novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo adalah metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antar variabel (Aminuddin, 1990:16).
Novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo merupakan objek dari analisis ini. Data dalam analisis novel ini berupa data yang berupa paragraf yang terdapat di dalam novel Erau Kota Raja. Sumber data dalam analisis ini adalah sumber data primer yaitu teks novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo terbitan PING!!! tahun 2015, dan tebal 204 halaman dan data sekunder dalam penelitian ini adalah tulis-tulisan atau artikel yang diperoleh dari internat dan pustaka yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, baca dan catat. Teknik pustaka adalah teknik pengambilan data dari berbagai sumber, baik dari novel itu sendiri maupun sumber lain yang berhubungan dengan novel yang akan dianalisis. Teknik baca adalah teknik pemahaman terhadap isi dari novel kemudian mencatat hal-hal penting dari novel. Teknik baca dan catat juga termasuk dari teknik analisis data.

C.     HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Sistem Bahasa
      Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi, studi mengenai bahasa disebut dengan istilah antropologi linguistik. Menurut Keesing, kemampuan manusia dalam membangun tradisi budaya, menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara simbolik, dan mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung pada bahasa. Dengan demikian, bahasa menduduki porsi yang penting dalam analisa kebudayaan manusia.
       Menurut Koentjaraningrat, unsur bahasa atau sistem perlambangan manusia secara lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi adalah deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasivariasi dari bahasa itu. Ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsa tersebut dapat diuraikan dengan cara membandingkannya dalam klasifikasi bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga dan subkeluarga. Menurut Koentjaraningrat menentukan batas daerah penyebaran suatu bahasa tidak mudah karena daerah perbatasan tempat tinggal individu merupakan tempat yang sangat intensif dalam berinteraksi sehingga proses saling memengaruhi perkembangan bahasa sering terjadi.
       Pada novel Erau Kota Raja, tidak ditemukan adanya sistem bahasa daerah setempat yang digunakan. Penduduk Kutai Kartanegara, khususnya bagian pedesaan pada novel menggunakan bahasa Indonesia. Setelah mencari referensi mengnai bahasa yang digunakan masyarakat Kutai Kartanegara, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu disana juga sudah terpengaruh dengan bahasa Indonesia. Sehingga bahasa yang digunakan orang Kutai pada novel tersebut adalah bahasa Indonesia.
2.      Sistem Pengetahuan
       Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan dalam kehidupannya.
“Di ruang makan, semua sudah siap di bangku masing-masing; Kelly dan Kenny, serta pak camat.” Meja makan mereka cukup besar. Ada enam kursi disana. Di atasnya sudah terhidang berbagai menu makananan yang siap disantap. Pak camat langsung menyambut Kirana dengan senyuman hangatnya. “Di Kutai, ada tradisi tidak boleh menolak kalau diajak makan. Jadi, silakan makan. Seadanya, ya.”
Kirana duduk. “Tradisi itu beneran ada pak?”
“Ada. Tuan rumah akan merasa sangat terhormat jika tamunya mau makan, walaupun sedikit. Begitu juga sebaliknya, kalau nggak mau makan, bisa jadi dianggap kurang sopan.” (Erau Kota Raja: 63)
       Pada kutipan di atas, digambarkan bahwa masyarakat Kutai terdapat tradisi tidak boleh menolak kalau diajak makan. Karena tuan rumah akan merasa sangat terhormat jika tamunya mau makan, walaupun sedikit. Sebaliknya, kalau tidak mau makan, bisa jadi dianggap kurang sopan.
       Orang Kutai suka menjamu tamunya, sebaiknya jangan menolak makanan yang disajikan walaupun itu sederhana. Orang Dayak akan malu jika tamunya sampai mengalami kelaparan. Bahkan dianggap sebagai tuan rumah yang tidak baik, walaupun anda sudah bilang “sudah kenyang” pasti anda tetap akan disuguhi makanan.
“ini adalah salah satu sisi Sungai Mahakam, selain yang kita seberangi kemarin. Mahakam adalah sungai terbesar yang membelah provinsi Kalimantan Timur, yang bermuara di Selat Makasar. Perlu Nak Kira tahu bahwa sungai Mahakam yang kita lihat ini bagian hilirnya sampai Samarinda. Kalau bagian hulunya ada di Kutai Barat.”
“Panjang sekali ya, Pak?” ujar Kirana manggut-manggut
“Apa sekarang masih ada pesut yang hidup di Mahakam, Pak? Ditanyakannya soal spesies mamalia semakin lama mendekati kepunahan.
“sekarang sudah sangat jarang karena banyak yang mengambil. Bisa dibilang, terancam punah jika tidak dilindungi.” (Erau Kota Raja: 71)

      Pada kutipan di atas, Pak Camat menjelaskan kepada Kirana mengenai Sungai Mahakam dan juga Pesut Mahakam.Mahakam merupakan nama sebuah sungai terbesar di provinsi Kalimantan Timur yang bermuara di Selat Makassar. Sungai dengan panjang sekitar 920 km ini melintasi wilayahKabupaten Kutai Barat di bagian hulu. Hingga Kabupaten Kartanegaradan Kota Samarinda di bagian hilir. Di sungai hidup spesies mamalia ikan air tawar yang terancam punah, yakni Pesut Mahakam       Sungai Mahakam sejak dulu hingga saat ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air, potensi perikanan maupun sebagai prasarana transportasi.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Mahakam diakses pada 07 Desember 2017)

 “Mmm, aku pengin ke Muara Kaman.”
Sekalgi lagi, Reza tersenyum kecut. “Muara Kaman? Mau ke Lesong Batu?”
“Iya, emang kamu tau?”
“Tau, lah. Aku orang sini. Muara Kaman itu cikal bakal kerajaan Kutai Kartanegara.”
“Dari sini peradaban kerajaan Hindu tertua di Indonesia dimulai.” Kirana sudah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya sejak semalam.
“Iya. Dan, ada bukti tertulis dalam Prasasti Yupa.” Reza membenarkan pernyataan Kirana.
“Aku masih belum bisa nebayangin, pada abad keempat Masehi, Raja Mulawarman menyumbang dua puluh ribu ekor lembu kepada sang Brahmana.” (EKR: 80)

       Pada kutipan di atas, digambarkan bahwa Kira ingin ke Muara Kaman, lalu ia menjelaskan tentang sejarah Muara Kaman. Muara Kaman itu cikal bakal kerajaan Kutai Kartanegara. Dari sini peradaban kerajaan Hindu tertua di Indonesia dimulai. Muara Kaman merupakan daerah cikal bakal berdirinya Kerajaan Kutai abad ke-4 dengan rajanya yang terkenal yakni Mulawarman. Salah satu bukti bekas peninggalan Kerajaan Kutai yang masih dapat dijumpai di Muara Kaman adalah sebuah batu berbentuk balok panjang yang disebut Batu Lesong. Batu ini lah yang menjadi bahan untuk membuat Prasasti yupa pada masa kejayaan kerajaan  Hindu tertua di Indonesia tersebut.
       Kutipan di atas sesuai dengan penjelasan yang pada referensi lain.

“Sebenarnya banyak sih tempat wisata di sini. Ada Planetarium Jagad Raya, Pantai Ambalat, juga sungai Hitam di Samboja.”
“Hmm…, Sungai Hitam?”
“Iya, tapi cukup jauh. Nanti, aku ke sana kalau waktunya pas. Di sana tuh ada orang utan yang idungnya panjang.”
“Bekantan?”
“Tuh, tau.”
“Itu kan khas Kalimantan, Za.”
“Nanti kalau ke Samboja, sekalian ke Pantai Tanah Merah. Pohon Pinus sepanjang jalan menuju pantai bakal bikin ngantuk.” Reza tidak bosan-bosan menjelaskan tentang semua yang dia tau. (EKR: 112-113)
       Kutipan di atas memberikan pengetahuan tentang tempat wisata yang ada di Kutai dan juga menggenai binatang khas Kalimantan. Reza menjelaskan bahwa banyak tempat wisata di Kutai Kartanegara. Ada Planetarium Jagad Raya, Pantai Ambalat, juga sungai Hitam di Samboja. Ada juga hewan khas Kalimantan, yaitu Bekantan.
1.      “Erau sendiri sejarahnya gimana, sih, Za?”
“Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia lima tahun.”
“Setelah deasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama, kalau tidak salah tahun 1300-1325, juga diadakan upacara Erau. Sejak itulah, Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara.” Reza memberikan penjelasan.
“Besok ada raja yang dinobatkan?”
“Sudah beda kalau Erau yang sekarang. Dalam perkembangannya, selain sebagai upaara penobatan raja, upacara Erau juga untuk pemberian gelar dari Raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap kerajaan.”
“Itu sejarah asal mula Erau? Kalau yang sekarang? Kan, jadi agenda tahunan.”
“Atas petunjuk Sultan Kutai Kartanegara yang terakhir, Sultan A.M. Parikesit, Erau dapat dilaksanakan Pemda Kutai Kartanegara dengan ketentuan tidak boleh mengerjakan beberapa upacara adat tertentu dan harus mengerjakan beberapa upacara adat lain. Beberapa kegiatan seperti upacara adat lain dari suku Dayak, kesenian, dan olahraga atau ketangkasan juga diperbolehkan.”
“Oh…., ya…, ya…, aku paham sekarang.”
“Festival Erau yang kini masuk dalam Calender of events pariwisata nasional, tidak lagi dikaitkan dengan seni budaya Keraton Kutai Kartanegara, tetapi lebih bervariasi dengan berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang ada, serta hidup dan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Kutai.” (EKR: 113-114)
       Pada kutipan di atas menjelaskan mengenai sejarah Erau dan perkembangannya. Kutipan di atas menambah wawasan pengetahuan tentang sejarah Erau.
       Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia lima tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama, kalau tidak salah tahun 1300-1325, juga diadakan upacara Erau. Sejak itulah, Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara.
       Sudah beda kalau Erau yang sekarang. Dalam perkembangannya, selain sebagai upaara penobatan raja, upacara Erau juga untuk pemberian gelar dari Raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap kerajaan. Atas petunjuk Sultan Kutai Kartanegara yang terakhir, Sultan A.M. Parikesit, Erau dapat dilaksanakan Pemda Kutai Kartanegara dengan ketentuan tidak boleh mengerjakan beberapa upacara adat tertentu dan harus mengerjakan beberapa upacara adat lain. Beberapa kegiatan seperti upacara adat lain dari suku Dayak, kesenian, dan olahraga atau ketangkasan juga diperbolehkan. Festival Erau yang kini masuk dalam Calender of events pariwisata nasional, tidak lagi dikaitkan dengan seni budaya Keraton Kutai Kartanegara, tetapi lebih bervariasi dengan berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang ada, serta hidup dan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Kutai.

“Aku pernah denger soal asal mula Naga Erau. Gimana sih, itu?”
“Pada zaman dahulu, di kampung Melanti, Hulu Dusun, berdiamah sepasang suami istri, yakni Petinggi Hulu Dusun dan istirnya yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut. Namn, mereka belum juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus ketururnan.”
“terus?”
“Suatu hari, keadaan alam menjadi sanat buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh Guntur dan tipan angin yang cukup kencang. Tak seorang pun penduduk hulu dusun yang berani keluar rumah, termasuk Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.”
“Terus, gimana?”
“Pada hari ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah, mereka tak berani kaena cuaca sangat buruk. Akhirnya petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.” Reza diam sesaat. Mukanya berubah murung. (EKR:115)
       Pada kutipan di atas, dijelaskan tentang asal mula Naga Erau. Kutipan di atas menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai asal mula Naga Erau. Pada zaman dahulu, di kampung Melanti, Hulu Dusun, berdiamah sepasang suami istri, yakni Petinggi Hulu Dusun dan istirnya yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut. Namn, mereka belum juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus ketururnan. Suatu hari, keadaan alam menjadi sanat buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh Guntur dan tipan angin yang cukup kencang. Tak seorang pun penduduk hulu dusun yang berani keluar rumah, termasuk Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.Pada hari ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah, mereka tak berani kaena cuaca sangat buruk. Akhirnya petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.
       Namun kutipan di atas tidak menjelaskan secara keseluruhan mengenai asal usul Naga Erau, walaupun tidak secara lengkap. Karena Reza mengigat akan ayahnya yang telah meninggal. Ayahnya yang sering menceritakan kisah tersebut pada Reza.
“Itu namanya Upacara Beluluh.” Mata Reza selalu takluput dari arah lensa Kirana. “Menurut sejarah, upacara beluluh dilaksanakan untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan. Mereka yang melaksanakan itu semuanya dari jajaran sultan-sultan Kutai.” Sesekali Reza menggunakan ponselnya untuk melakuan hal yang sama dengan Kirana, memotret. (EKR: 131)
       Kutipan di atas menyinggung tentang Upacara Beluluh. Menurut sejarah, upacara Beluluh dilaksanakan untuk memohon ke keselamatan dan kesejahteraan. Mereka yang melaksanakan itu semuanya dari jajaran sultan-sultan Kutai.
       Menurut sumber data yang lain, Dalam Upacara Ritual Beluluh yang dilakukan seorang Belian terhadap Raja/Sultan/Putra Mahkota berperan mengucapkan doa memohon kepada yang maha kuasa guna membersihkan diri dari unsur-unsur jahat, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, maka akan diluluhkan di atas buluh/bambu dan sebagai pertanda dimulainya pelaksanaan Erau Adat Kutai. Upacara Ritual Beluluh dilaksanakan pada permulaan sebelum Erau Adat Kutai yang dilakukan setiap sore hari selama Erau berlangsung.
3.      Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
       Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan usaha antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan digolongkan ke dalam tingkatantingkatan lokalitas geografis untuk membentuk organisasi sosial dalam kehidupannya.
       Kekerabatan berkaitan dengan pengertian tentang perkawinan dalam suatu masyarakat karena perkawinan merupakan inti atau dasar pembentukan suatu komunitas atau organisasi sosial.
4.      Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
       Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
“Kirana tahu betul susahnya jadi penumpang bus kota. Sudah pasti bus itu penuh sesak. Bukan lagi berebut tempat duduk, mereka juga berebut tempat berdiri, bahkan menggantung di ujung pintu bus!”

      Kutipan di atas menggambarkan tentang bagaimana susahnya menjadi penumpang bus kota. Tidak hanya berebut tempat duduk, bahkan mereka (penumpang bus kota) berebut tempat berdiri. Ketika mereka tidak mendapatkan tempat duduk maupun tempat berdiri, mereka akan menggantung di ujung pintu bus. Dalam hal ini, transportasi berupa bis kota sudah ada di kota tersebut.

“Menjelang senja, mobil Reza melaju membelah kota Tanggarong. Ada Kirana di dalamnya. Gadis itu merasa asing. Apalagi di bangku depan Pak Camat dan Reza masih berdiskusi soal proposal yang diajukan Reza pada pihak hotel. Ridho tak henti-henti melirik Kirana yang duduk di sampingnya.”

       Pada kutipan di atas menggambarkan situasi dan keadaan Kirana di atas mobil. Pak Camat dan Reza sibuk brdiskusi soal proposal, Kirana merasa asing di dalam mobil tersebut, dan Ridho yang tak henti-hentinya melirik Kirana. Dari kutipan di atas digambarkan secara jelas transportasi, berupa mobil sudah ada di kota Kutai Kartanegara.
      
“Jenuh mulai melanda. Ia menyentuh benda yang menjadi sahabat sejatinya saat bekerja, kamera DSLR. Tak ingin melewatkan pemandangan indah di sepanjang jalan, tangannya mulai menekan tombol shutter. Membidik beberapa sudut kota yang menurutnya bagus, pemandangan bukit-bukit yang membentang, sungai ta berarus yang memanjang. Sejenak pikirannya pelik yang mengganggunya seakan tenggelam ke dasar pikirannya. Hanyut, tak menyisakan secuil pun bayangan.” (Erau Kota Raja: 48)

       Pada kutipan di atas menggambarkan keadaan Kirana yang sudah mulai jenuh. Untuk menghilangkan kejenuhannya, ia menyentuh kamera DSLR-nya. Memotret pemandangan indah di sepanjang jalan, baik itu sungai maupun bukit. Namun sejenak pikirannya pelik, kembali teringat akan kisah cinta yang terjalin empat tahun berakhir dalam waktu empat menit. Kamere DSLR menunjukkan bahwa teknologi sudah sangat maju, walaupun kamera tersebut dibawa dari Jakarta ke Tenggarong.

“Senyum tergurat dari bibir Kirana. Matanya sediit mendelik. Ada sedikit rasa takut jika apa yang di pikirannya benar. ‘emm…, maksudnya kita akan menyeberang ke sana dengan kapal-kapal ini, gitu, Pak?”
“Ya, kamu benar. Ini jalan pintas satu-satunya. Paling butuh waktu sepuluh menit untuk menyeberang.”
“mobilnya?”
“Mobilnya pasti ikut naik, lah. Makanya jangan turun dulu sebelum moil masuk ke dalam kapal,” jelas Pak Camat dengan santai. (Erau Kota Raja: 49)
       Pada kutipan di atas, Kirana bertanya kepada Pak Camat,”kita akan ke sana dengan kapal-kapal ini, gitu, Pak?”. Dalam hal transportasi, di kota Kutai Kartanegara tidak hanya terdapat mobil, bahkan di sana juga ada kapal-kapal sebagai sarana transportasi. Kapal-kapal digunakan untuk menyeberangi sungai. Bukan hanya menyeberangkan orang-orang, akan tetapi beserta dengan kendaraan yang digunakannya saat itu.
“Tampak juga beberapa burung yang memilih bercengkrama di dahan yang sama, tak beranjak menikmati fajar. Entah apa yang sedang mereka gosipkan, mungkin membicarakan para manusia yang berjalan-jalan di bawah dahan yang mereka singgahi. Maklum, pagi itu desa sudah mulai sibuk. Ada yang berjalan kaki, naik sepeda, pun beberapa mobil yang lewat.” (Erau Kota Raja: 68)
“Kirana, kita ke kantor sekarang. Deket, kok, kantornya”
“Bapak naik sepeda? Kirana heran, heran dengan pekerja yang masih mengandalkan sepeda ke tempat kerja di zaman sekarang.”
“Di Jakarta, Kirana biasa naik taksi online. Ojek jadi alternat kalau sudah terjebak macet, meski ojek yang membuatnya penat karena terkena asap polusi…” (Erau Kota Raja: 69)
       Masyarakat pedesaan di Kutai Kartanegara sudah ada yang memiliki mobil. Tidak hanya mobil, akan tetapi ada mereka juga menggunakan sepeda bahkan ada yang berjalan kaki. Bahkan Pak Camat masih menggunakan sepeda untuk berangkat kerja di kantor desa. Hal ini seperti yang kita lihat di desa-desa yang pada umumnya sudah tersentuh dengan teknologi. Meski tak se-maju dengan yang ada di Jakarta yang sudah ada Taksi Online.
“Mata Kirana tertuju pada kapal-kapal besar di tengah sungai. Kapal-kapal tongkang yang mengangkut batu bara layaknya bukit-bukit yang berjalan di atas air…” (Erau Kota Raja: 72)
        Pada kutipan di atas, kapal-kapal yang ada di kota Kutai Kartanegara tidak hanya digunakan untuk alat transportasi, namun juga ada kapal-kapal yang mengangkut batu bara.
“kok bisa yah ada pulau di tengah sungai? Biasanya pulau, kan, ada di tengah laut. Apalagi jadi tempat wisata emang pulau ini nyguhin apaan aja”?
5.      Sistem Ekonomi/Mata Pencaharian
       Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

“Oh iya, Pak, para penduduk di sini kerjanya apa?” Tanya Kirana, tak mau kehabisan pertanyaan untuk diajukan kepada pak Camat.
“Ada yang petani, karyawan, juga nelayan.” Jawab Pak Camat. (Erau Kota Raja: 71)

“Tak lama, Pak Camat mengajaknya berbelok ke sebuah tempat. Di halamannya, terdapat papan dengan tulisan “Kantor Camat”. Sudah banyak orang yang berdatangan, baik dari para pegawai instasi pemerintah maupun orang-orang yang mempunyai urusan dengan pihak kecamatan, sampai sekumpulan pemuda pemudi di bagian dalam kantor kecamatan.” (Erau Kota Raja: 73)

“Tak lama kemudian, dia keluar pintu dan membawa dua buah bungkusan cukup besar. Isinya cedera mata khas Kutai Kartanegara yang diproduksi oleh ibu-ibu pemilik rumah di sekitar situ.” (EKR: 78)
       Pada kutipan di atas, menunjukkan bahwa masyarakat Kutai Kartanegara pada umumnya bekerja sebagai karyawan, petani, dan juga nelayan. Adanya kantor camat di sebuah desa menandakan bahwa beberapa masyarakat pedesaan bekerja sebagai pegawai kantor. Di desa itu juga sebagian masyarakatnya bekerja sebagai pengrajin, membuat cindera mata khas Kutai Kartanegara. Hasil kerjaninan tangan tersebut dibawa ke kota kemudian dijual.
6.      Sistem Religi
       Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut.
       Tidak ditemukan adanya kutipan mengenai sistem religi ataupun kepercaaan masyarakat kota Kutai Kartanegara pada novel Erau Kota Raja.
7.      Kesenian
       Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada teknikteknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan seni drama dalam suatu masyarakat.
“Pak Camat hanya mengangguk. Kirana langsung membidik para penari yang sedang latihan. Ada enam orang. Melihat ketertarikan Kirana, Pak Camat langsung memberikan penjelasan. “Itu tari Jepen. Suka?” kata Pak Camat
“Suka sekali, Pak, sangat dinamis. Asli Kutai Kartanegara, Pak?”
“Tentu. Itu salah satu tarian kebanggan kami. Tarian Jepen dipengaruhi budaya Melayu dan Islam. Jenis tarian pergaulan dan meang ditarikan berpasang-pasangan. Hampir di setiap desa ada kelompok tari seperti ini. Kami memang berharap pemuda pemudi di kutai mau mempelajari dan melestarikan keseniannya sendiri.” (Erau Kota Raja: 73-73)
“Kalau musiknya, Pak? Khas juga, ya?”
“Oh, iya, itu namanya music tingkilan. Khas kutai juga. Alat musiknya seperti ukulele, semacam gitar kecil begitu. Tapi suaranya khas, berbeda.” (Erau Kota Raja: 74)
       Dalam kutipan di atas membahas mengenai tari Jepen. Tari Jepen adalah tarian khas Kutai. Salah satu tarian kebanggaan masyarakat Kutai. Tarian Jepen dipengaruhi budaya Melayu dan Islam. Jenis tarian pergaulan dan memang ditarikan berpasang-pasangan. Hampir di setiap desa ada kelompok tari seperti ini. Kami memang berharap pemuda pemudi di Kutai mau mempelajari dan melestarikan keseniannya sendiri.
       Tari Jepen memiliki kemiripan dengan kesenian tari dari daerah lain di Nusantara, seperti Tari Zapin di Sumatera, tari Danatari Bedana atau tari Zevin yang semuanya berasal dari masyarakat suku Melayu yang tinggal tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, KalimantanSulawesi dan pulau-pulau lain di Nusantara. Tari Jepen ini, yang biasanya diiringi oleh musik tradisi yang disebut Tingkilan, memiliki ciri khas ragam gerak yang tidak dimiliki oleh tari sejenis di daerah lain. Ragam gerak dalam tari Jepen dipengaruhi oleh kondisi dan letak geografis daerah Kutai.
       Tari Jepen memiliki kemiripan dengan kesenian tari dari daerah lain di Nusantara, seperti Tari Zapin di Sumateratari Danatari Bedana atau tari Zevin yang semuanya berasal dari masyarakat suku Melayu yang tinggal tersebar di Pulau SumateraJawaKalimantanSulawesi dan pulau-pulau lain di Nusantara. Tari Jepen ini, yang biasanya diiringi oleh musik tradisi yang disebut Tingkilan, memiliki ciri khas ragam gerak yang tidak dimiliki oleh tari sejenis di daerah lain. Ragam gerak dalam tari Jepen dipengaruhi oleh kondisi dan letak geografis daerah Kutai. (https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Jepen   diakses 07 Desember 2017)

“…Mobil pun sekarang sudah penuh dengan barng-barang. Ada manik-manik, baju, tas, dan kerajinan tangan lainnya.”
“…Iseng, Kirana mengambil satu barang, hiasan dari manik-manik. Sungguh unik menurutnya. Dia pusing melihat benda-benda unik seperti itu, pusing memikirkan cara membuatnya.” (EKR: 79)

       Hasil kerajinan tangan dari Kutai berupa manik-manik, baju, tas, dan juga kerajinan tangan lainnya. Kerajinan tangan tersebut dibuat oleh ibu-ibu yang tinggal di pedesaan, dibimbing langsung oleh ibu-ibu Dharma Wanita. Hasil kerajinan tang tersebut kemudian dibawa ke kota untuk dijual.

Kemudian turis itu melanjutkan pertanyaannya, “Bagaimana tentang…kalung un…uncal? Benar begitu namanya?”
“iya, benar.” Reza panjang lebar menjelaskan bahwa kalung uncal adalah salah satu benda paling berharga di Museum Mulawarman. Merupakan satu dari dua kalung serupa yang ada di dunia. Yang lainnya berada di India. Menurut cerita Ramayana, kalung yang terdapat di India adalah miliki Rama, sedangkan yang di Museum Mulawarman merupakan milik Shinta.” (EKR: 86)
       
       Beberapa turis bertanya beberapa hal kepada Reza. Salah satunya mengenai Kalung Uncal. kalung uncal adalah salah satu benda paling berharga di Museum Mulawarman. Merupakan satu dari dua kalung serupa yang ada di dunia. Yang lainnya berada di India. Menurut cerita Ramayana, kalung yang terdapat di India adalah miliki Rama, sedangkan yang di Museum Mulawarman merupakan milik Shinta.
       Salah satu pusaka Kerajaan Kutai adalah Kalung Uncal – yaitu kalung berbentuk buklat panjang 9 cm terbuat dari bahan emas muda (18 karat). Terdapat ukiran Dewi Sinta dan Sri Rama memanah babi, pada bagain kalung terdapat juga empat buah bulatan yang dua diantaranya berhiaskan permata. Kalung ini menetukan sah atau tidaknya pelantikan seorang raja Kutai.
       Konon kalung uncal ini asalnya dari India dan hanya ada sepasang di dunia ini sebab dahulu kalung ini satu punya SRI RAMA, satunya punya DEWI SHINTA.  Ketika Sri Rama dapat merebut kembali Dewi Sinta isterinya dari RAHWANA dia meragukan apakah isterinya masih suci dan tidak diganggu oleh Rahwana. Kecurigaannya ini cukup beralasan karena kalung Uncal lambang kesucian itu telah hilang dari leher Dewi Sinta. (https://folksofdayak.wordpress.com/2014/03/18/kalung-uncal-pusaka-kerajaan-kutai/ diakses 07 Desember 2017)

“Itu namanya patung Lembuswana. Konon patung itu raksasa itu terbuat dari bahan tembaga buatan seniman Bali bernama Nyoman Sunatra. Lembusnawa sendiri dipercaya sebagai tunggangan Raja Mlawarman sekitar seribu lima ratus tahun lalu. Bentuknya sedikit aneh karena berbelalai seperti gajah, tapi tak bertelinga besar. Bertaring dan bertaji seperti ayam.” (EKR: 119)
       Patung Lembuswana adalah patung raksasa terbuat dari bahan tembaga buatan seniman Bali. Berbelalai bukan gajah, bertaring bukan harimau, bertaji bukan ayam. Legenda kemunculannya di Sungai Mahakam ratusan tahun silam menjadikannya simbol Kerajaan Kutai Kartanegara. Sosok berwarna keemasan nan berkilau ditempa matahari itu menjadi ikon penanda di halaman depan Museum Mulawarman, Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Patung satwa itu berbadan kuda yang berisisik dan bertaji. Kemunculan Lembuswana ini kerap dihubungkan dengan kisah lahirnya Putri Karang Melenu yang muncul bersama satwa mitologi itu dari dasar Sungai Mahakam. Kelak sang putri menikah dengan Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dari sang putri itu dilahirkan penerus dinasti raja-raja Kutai Kartanegara. Leluhur warga Kutai mempercayai bahwa Sang Lembuswana merupakan tunggangan Mulawarman, yang bertakhta sebagai raja Kutai sekitar 1.500 tahun silam. Tampaknya mirip dengan sebagian besar penganut Shiwa di Nusantara, bahwa lembu merupakan kendaraan Dewa Shiwa: Raja Majapahit pun dilambangkan sebagai Shiwa pula. Satwa mitologi ini telah menjadi simbol keperkasaan dan kedaulatan seorang penguasa. Unsur belalainya menandakan bahwa satwa ini juga perlambang sosok Ganesha, Dewa Kecerdasan.

“…Mereka melewati pedagang makanan khas Kutai. Kirana membeli dodol khas Kutai. Dia ingin tahu seperti apa rasanya.” (EKR:135)
       Kota Kutai memiliki makanan khas yaitu dodol. Ada berbagai macam bahan baku untuk membuat dodol khas Kutai, misalnya bahan baku buah nipah dan bahan baku papaya.
       Pembuatan dodol buah Nipah hampir sama dengan pembuatan Dodol pada umumnya, hanya saja bahan baku yang digunakan adalah Buah Nipah, selain dibuat Dodol buah Nipah.
       Dodol itu dinamakan Dodol Pepaya "Enggang", dikemas dalam kardus kecil ukuran 150 gram. Teksturnya kenyal, dan rasanya manis. KUB Redan Prima membuat dodol sejak tahun 2005, dan salah satu dodol yang dibuat adalah dodol pepaya. Ini bermula dari panen pepaya asal Kutai Timur banyak yang tidak tertampung pasar. Petani tak bisa menentukan harga, dan tengkulak membeli murah.
      
D.     SIMPULAN DAN SARAN
       Dari hasil analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa lima dari tujuh unsur kebudayaan ditemukan pada novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo. Dua unsur kebudayaan yang tidak terdapat pada novel tersebut  adalah sistem bahasa, sistem kekerabatan, dan sistem religi.
       Adapun sistem pengetahuan pada novel Erau Kota Raja, antara lain: Di Kutai, ada tradisi tidak boleh menolak kalau diajak makan. Tuan rumah akan merasa sangat terhormat jika tamunya mau makan, walaupun sedikit. Begitu juga sebaliknya, kalau nggak mau makan, bisa jadi dianggap kurang sopan; pengetahuan tentang sungai Mahakam; pengetahuan tentang Muara Kaman; pengetahuan tentang binatang khas Kalimantan; pengetahuan tentang sejarah Erau; pengetahuan tentang sejarah Naga Erau; pengetahuan tentang dan Upacara Beluluh.
       Dari sistem peralatan hidup masyarakat Kutai yang terdapat dalam novel Erau Kota Raja antara lain: mobil, kamre LDSR, kapal-kapal, dan sepeda.
       Dari sistem ekonomi/mata pencaharian masyarakat Kutai pada novel Erau Kota Raja antara lain: masyarakat Kutai Kartanegara pada umumnya bekerja sebagai karyawan, petani, dan juga nelayan. Adanya kantor camat di sebuah desa menandakan bahwa beberapa masyarakat pedesaan bekerja sebagai pegawai kantor. Di desa itu juga sebagian masyarakatnya bekerja sebagai pengrajin, membuat cindera mata khas Kutai Kartanegara. Hasil kerjaninan tangan tersebut dibawa ke kota kemudian dijual.
      Dari hasil kesenian Kutai dalam novel Erau Kota Raja, antara lain: tari jepen, musik tingkilan, ukulele, manic-manik, baju, tas, museum Mulawarman, kalung uncal, patung lembuswana, dan makanan khas Kutai yaitu dodol.
       Hasil analisis novel Erau Kota Raja ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, agar dapat mengetahui kebudayaan dan kesenian yang terdapat di kota Kutai Kartanegara yang terdapat dalam novel. Penelitian ini diharapkan dimanfaatkan sebagai alternatif bahan pengajaran Manusia dan Kebudayaan, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang rasa keingintahuan tentang budaya yang ada di Nusantara.

 


DAFTAR PUSTAKA

Koeswoyo, Endik. 2015. Erau KotaRaja. PING!!!Jogjakarta
Marsanti , PE; Suyitno, dan Wardani, EN. 2012 Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan    Pengajarannya.
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta