ANALISIS TUJUH UNSUR KEBUDAYAAN
DALAM NOVEL ERAU KOTA RAJA
(Karya Endik Koeswoyo)
OLEH:
Nama :
Isfan Fajar
NIM :
1551141027
Prodi :
Bahasa dan Sastra Indonesia
Mata Kuliah :
Manusia dan Kebudayaan
Dosen Pengampu : Suarni
Syam Saguni S.S., M.Hum
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
ANALISIS TUJUH UNSUR KEBUDAYAAN
DALAM NOVEL ERAU KOTA RAJA
(Karya Endik Koeswoyo)
Isfan Fajar
Program Studi Bahasa Sastra Indonesia
Universitas Negeri Makassar
Abstrak
Penelitian
ini mengangkat objek penelitian novel yang berjudul Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo. Latar
belakang analisis yang dilakukan didasari oleh keberagaman budaya Nusantara
yang mengemban isi sangat kaya. Keberagaman tersebut dapat ditemukan pada
sebuah novel yang menceritakan tentang beberapa unsur kebudayaan, seperti sistem
pengetahuan, sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia, sistem mata
pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem organisasi kemasyarakatan, dan
kesenian.
Kata kunci:
analisis; unsur kebudayaan; Erau Kota Raja; sistem pengetahuan; sistem peralatan dan perlengkapan hidup;
sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi; sistem organisasi kemasyarakatan;
kesenian.
A.
PENDAHULUAN
Sastra merupakan suatu
bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya manusia dan kehidupan
sebagai mediumnya (Semi, 1993: 8).
Karya
sastra merupakan gambaran kehidupan sosial masyarakat karena pengarang
merupakan bagian dari masyarakat (Wardani, 2009). Novel sebagai salah satu
bentuk karya sastra yang menyajikan hasil pemikiran melalui wujud penggambaran
pengalaman konkret manusia dalam bentuk cerita yang cukup panjang (Yudiono,
1990).
Manusia
sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Begitupun sebaliknya. Manusia yang
membuat kebudayaan. Dan hampir setiap tingkah laku manusia itu adalah
kebudayaan. Dalam sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai dwitunggal.
Maksudnya adalah walaupun keduanya berbeda, tetapi keduanya merupakan suatu
kesatuan. Manusia menciptakan kebudayaan, dan setelah kebudayaan itu tercipta
maka kebudayaan mengatur hidup manusia agar sesuai dengannya. Kebudayaan yang
digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya bisa kita sebut
sebagai way of life, yang digunakan
individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
Novel
Erau
Kota Raja karya Endik Koeswoyo ini berkisah tentang Kirana yang
bekerja sebagai seorang jurnalis majalah seni dan budaya kenamaan sedan galau
akut memikirkan soal jodoh. Bagi seorang wanita, usia biasanya menjadi bom
waktu yang bisa menghancurkan semuanya, termasu kisah cinta yang sudah
dibangunna selama 4 tahun belakangan. Dalam kegamangan hidupnya, Kirana
mendapat tugas meliput Festival ERAU di Kutai Kartanegara. Belum genap 4 hari
di kora Raja, Kira kagum dengan sosok Reza, pemuda desa yang dianggapnya cerdas
dan pintar. Pemuda itu lulusan kedokteran, namun tidak ingin bekerja di kota
karena ingin mengabdi dan menjadi orang yang bermanfaat untuk desa. Walaupun
hal itu membuat hubungannya dengan ibunya menjadi renggang. Bu Tati, Ibu Reza
menginginkan agar Reza ke Kota untuk bekerja di rumah sakit, namun Reza
menolak. Kirana dan Reza selalu pergi bersama untuk mengunjungi tempat-tempat
yang bersejarah, tempt yang indah, dan saat Festival Erau sedang berlangsung.
Unsur-unsur kebudayaan
yang terdapat dalam novel Erau Kota Raja menarik
untuk dianalisis.
Hal tersebut dapat dilihat dari jalan cerita tokoh yang diberikan tugas untuk meliput festival Erau di Kutai
Kartanegara.
Pengarang menampilkan beberapa unsur
kebudayaan dengan jelas, lengkap dengan sejarah maupun asal usul suatu
kebudayaan maupun kesenian yang ada.
Novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo
dipilih menjadi objek penelitian/analisis berdasarkan beberapa pertimbangan, di
antaranya: ditonjolkan mengenai asal usul suatu kebudayaan dan kesenian,
ceritanya dibaluti dengan kisah percintaan dan juga mencari tentang makna
‘jodoh’.
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dari analisis ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) unsur-unsur kebudayaan yang terdapat pada novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo, (2)
sejarah dan perkembangan Festival Erau.
Manfaat
penelitian ini adalah bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk menambah
wawasan tentang kebudayaan dan kesenian yang ada di kota Kutai
Kartanegara, terutama kebudayaan Erau. Bagi pembaca khususnya peminat karya sastra, penelitian
ini diharapkan bisa menambah wawasan tentang kebudayaan yang ada di Nusantara yang dituangkan dalam bentuk novel sehingga bisa lebih menikmati
karya sastra yang berbentuk novel.
B.
METODE PENELITIAN
Metode analisis yang digunakan untuk mengkaji novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo adalah metode kualitatif deskriptif.
Metode kualitatif deskriptif artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya
berbentuk deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau koefisien tentang
hubungan antar variabel (Aminuddin, 1990:16).
Novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo merupakan objek dari analisis ini. Data dalam analisis novel ini berupa
data yang berupa paragraf yang terdapat di dalam novel Erau Kota Raja. Sumber data dalam analisis ini adalah sumber data primer
yaitu teks novel Erau Kota Raja karya Endik Koeswoyo terbitan PING!!! tahun 2015,
dan tebal 204 halaman dan data sekunder dalam
penelitian ini adalah tulis-tulisan atau artikel yang diperoleh dari internat
dan pustaka yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teknik pustaka, baca dan catat. Teknik pustaka adalah teknik
pengambilan data dari berbagai sumber, baik dari novel itu sendiri maupun
sumber lain yang berhubungan dengan novel yang akan dianalisis. Teknik baca
adalah teknik pemahaman terhadap isi dari novel kemudian mencatat hal-hal
penting dari novel. Teknik baca dan catat juga termasuk dari teknik analisis
data.
C.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya
untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi,
studi mengenai bahasa disebut dengan istilah antropologi linguistik. Menurut
Keesing, kemampuan manusia dalam membangun tradisi budaya, menciptakan
pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara simbolik, dan
mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung pada bahasa. Dengan
demikian, bahasa menduduki porsi yang penting dalam analisa kebudayaan manusia.
Menurut
Koentjaraningrat, unsur bahasa atau sistem perlambangan manusia secara lisan
maupun tertulis untuk berkomunikasi adalah deskripsi tentang ciri-ciri
terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta
variasivariasi dari bahasa itu. Ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsa
tersebut dapat diuraikan dengan cara membandingkannya dalam klasifikasi
bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga dan subkeluarga. Menurut
Koentjaraningrat menentukan batas daerah penyebaran suatu bahasa tidak mudah
karena daerah perbatasan tempat tinggal individu merupakan tempat yang sangat
intensif dalam berinteraksi sehingga proses saling memengaruhi perkembangan
bahasa sering terjadi.
Pada
novel Erau Kota Raja, tidak ditemukan
adanya sistem bahasa daerah setempat yang digunakan. Penduduk Kutai
Kartanegara, khususnya bagian pedesaan pada novel menggunakan bahasa Indonesia.
Setelah mencari referensi mengnai bahasa yang digunakan masyarakat Kutai
Kartanegara, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu
disana juga sudah terpengaruh dengan bahasa Indonesia. Sehingga bahasa yang
digunakan orang Kutai pada novel tersebut adalah bahasa Indonesia.
2.
Sistem Pengetahuan
Sistem
pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan hidup
dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di dalam
ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup
pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan dalam kehidupannya.
“Di ruang makan, semua sudah siap di
bangku masing-masing; Kelly dan Kenny, serta pak camat.” Meja makan mereka
cukup besar. Ada enam kursi disana. Di atasnya sudah terhidang berbagai menu
makananan yang siap disantap. Pak camat langsung menyambut Kirana dengan
senyuman hangatnya. “Di Kutai, ada tradisi tidak boleh menolak kalau diajak
makan. Jadi, silakan makan. Seadanya, ya.”
Kirana duduk. “Tradisi itu beneran ada
pak?”
“Ada. Tuan rumah akan merasa sangat
terhormat jika tamunya mau makan, walaupun sedikit. Begitu juga sebaliknya,
kalau nggak mau makan, bisa jadi dianggap kurang sopan.” (Erau Kota Raja: 63)
Pada kutipan di atas,
digambarkan bahwa masyarakat Kutai terdapat tradisi tidak boleh menolak kalau
diajak makan. Karena tuan rumah akan merasa sangat terhormat jika tamunya mau
makan, walaupun sedikit. Sebaliknya, kalau tidak mau makan, bisa jadi dianggap
kurang sopan.
Orang Kutai suka menjamu tamunya,
sebaiknya jangan menolak makanan yang disajikan walaupun itu sederhana. Orang
Dayak akan malu jika tamunya sampai mengalami kelaparan. Bahkan dianggap
sebagai tuan rumah yang tidak baik, walaupun anda sudah bilang “sudah kenyang”
pasti anda tetap akan disuguhi makanan.
“ini adalah
salah satu sisi Sungai Mahakam, selain yang kita seberangi kemarin. Mahakam
adalah sungai terbesar yang membelah provinsi Kalimantan Timur, yang bermuara
di Selat Makasar. Perlu Nak Kira tahu bahwa sungai Mahakam yang kita lihat ini
bagian hilirnya sampai Samarinda. Kalau bagian hulunya ada di Kutai Barat.”
“Panjang sekali
ya, Pak?” ujar Kirana manggut-manggut
“Apa sekarang
masih ada pesut yang hidup di Mahakam, Pak? Ditanyakannya soal spesies mamalia
semakin lama mendekati kepunahan.
“sekarang sudah
sangat jarang karena banyak yang mengambil. Bisa dibilang, terancam punah jika
tidak dilindungi.” (Erau Kota Raja: 71)
Pada kutipan di atas, Pak Camat
menjelaskan kepada Kirana mengenai Sungai Mahakam dan juga Pesut Mahakam.Mahakam merupakan nama sebuah sungai terbesar di provinsi
Kalimantan Timur yang bermuara di Selat Makassar. Sungai dengan panjang sekitar
920 km ini melintasi wilayahKabupaten Kutai Barat di bagian hulu. Hingga
Kabupaten Kartanegaradan Kota Samarinda di bagian hilir. Di sungai hidup
spesies mamalia ikan air tawar yang terancam punah, yakni Pesut Mahakam Sungai Mahakam sejak dulu hingga
saat ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya
sebagai sumber air, potensi perikanan maupun sebagai prasarana transportasi.
“Mmm, aku pengin ke Muara Kaman.”
Sekalgi lagi,
Reza tersenyum kecut. “Muara Kaman? Mau ke Lesong Batu?”
“Iya, emang kamu
tau?”
“Tau, lah. Aku
orang sini. Muara Kaman itu cikal bakal kerajaan Kutai Kartanegara.”
“Dari sini
peradaban kerajaan Hindu tertua di Indonesia dimulai.” Kirana sudah
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya sejak semalam.
“Iya. Dan, ada
bukti tertulis dalam Prasasti Yupa.” Reza membenarkan pernyataan Kirana.
“Aku masih belum
bisa nebayangin, pada abad keempat Masehi, Raja Mulawarman menyumbang dua puluh
ribu ekor lembu kepada sang Brahmana.” (EKR: 80)
Pada kutipan di
atas, digambarkan bahwa Kira ingin ke Muara Kaman, lalu ia menjelaskan tentang
sejarah Muara Kaman. Muara Kaman itu cikal bakal kerajaan
Kutai Kartanegara. Dari sini peradaban kerajaan Hindu tertua di Indonesia
dimulai. Muara Kaman merupakan
daerah cikal bakal berdirinya Kerajaan Kutai abad ke-4 dengan rajanya yang
terkenal yakni Mulawarman. Salah satu bukti bekas peninggalan Kerajaan Kutai
yang masih dapat dijumpai di Muara Kaman adalah sebuah batu berbentuk balok
panjang yang disebut Batu Lesong. Batu ini lah yang menjadi bahan untuk membuat Prasasti yupa pada masa kejayaan kerajaan
Hindu tertua di Indonesia
tersebut.
Kutipan di atas sesuai dengan penjelasan yang pada referensi lain.
“Sebenarnya
banyak sih tempat wisata di sini. Ada Planetarium Jagad Raya, Pantai Ambalat,
juga sungai Hitam di Samboja.”
“Hmm…, Sungai
Hitam?”
“Iya, tapi cukup
jauh. Nanti, aku ke sana kalau waktunya pas. Di sana tuh ada orang utan yang
idungnya panjang.”
“Bekantan?”
“Tuh, tau.”
“Itu kan khas
Kalimantan, Za.”
“Nanti kalau ke
Samboja, sekalian ke Pantai Tanah Merah. Pohon Pinus sepanjang jalan menuju
pantai bakal bikin ngantuk.” Reza tidak bosan-bosan menjelaskan tentang semua
yang dia tau. (EKR: 112-113)
Kutipan di atas memberikan pengetahuan
tentang tempat wisata yang ada di Kutai dan juga menggenai binatang khas
Kalimantan. Reza menjelaskan bahwa banyak tempat wisata di Kutai Kartanegara.
Ada Planetarium Jagad Raya, Pantai Ambalat, juga sungai Hitam di Samboja. Ada
juga hewan khas Kalimantan, yaitu Bekantan.
1.
“Erau
sendiri sejarahnya gimana, sih, Za?”
“Erau pertama
kali dilaksanakan pada upacara tijak
tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia lima
tahun.”
“Setelah deasa
dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama, kalau tidak salah
tahun 1300-1325, juga diadakan upacara Erau. Sejak itulah, Erau selalu diadakan
setiap terjadi penggantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara.” Reza
memberikan penjelasan.
“Besok ada raja
yang dinobatkan?”
“Sudah beda
kalau Erau yang sekarang. Dalam perkembangannya, selain sebagai upaara
penobatan raja, upacara Erau juga untuk pemberian gelar dari Raja kepada tokoh
atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap kerajaan.”
“Itu sejarah
asal mula Erau? Kalau yang sekarang? Kan, jadi agenda tahunan.”
“Atas petunjuk
Sultan Kutai Kartanegara yang terakhir, Sultan A.M. Parikesit, Erau dapat
dilaksanakan Pemda Kutai Kartanegara dengan ketentuan tidak boleh mengerjakan
beberapa upacara adat tertentu dan harus mengerjakan beberapa upacara adat
lain. Beberapa kegiatan seperti upacara adat lain dari suku Dayak, kesenian,
dan olahraga atau ketangkasan juga diperbolehkan.”
“Oh…., ya…, ya…,
aku paham sekarang.”
“Festival Erau
yang kini masuk dalam Calender of events pariwisata
nasional, tidak lagi dikaitkan dengan seni budaya Keraton Kutai Kartanegara,
tetapi lebih bervariasi dengan berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang
ada, serta hidup dan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Kutai.” (EKR:
113-114)
Pada
kutipan di atas menjelaskan mengenai sejarah Erau dan perkembangannya. Kutipan
di atas menambah wawasan pengetahuan tentang sejarah Erau.
Erau
pertama kali dilaksanakan pada upacara tijak
tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia lima
tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama,
kalau tidak salah tahun 1300-1325, juga diadakan upacara Erau. Sejak itulah,
Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan raja-raja Kutai
Kartanegara.
Sudah beda kalau Erau yang sekarang.
Dalam perkembangannya, selain sebagai upaara penobatan raja, upacara Erau juga
untuk pemberian gelar dari Raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang
dianggap berjasa terhadap kerajaan. Atas petunjuk Sultan Kutai Kartanegara yang
terakhir, Sultan A.M. Parikesit, Erau dapat dilaksanakan Pemda Kutai
Kartanegara dengan ketentuan tidak boleh mengerjakan beberapa upacara adat
tertentu dan harus mengerjakan beberapa upacara adat lain. Beberapa kegiatan
seperti upacara adat lain dari suku Dayak, kesenian, dan olahraga atau
ketangkasan juga diperbolehkan. Festival Erau yang kini masuk dalam Calender of events pariwisata nasional,
tidak lagi dikaitkan dengan seni budaya Keraton Kutai Kartanegara, tetapi lebih
bervariasi dengan berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang ada, serta
hidup dan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Kutai.
“Aku pernah
denger soal asal mula Naga Erau. Gimana sih, itu?”
“Pada zaman
dahulu, di kampung Melanti, Hulu Dusun, berdiamah sepasang suami istri, yakni
Petinggi Hulu Dusun dan istirnya yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah
cukup lanjut. Namn, mereka belum juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu
memohon kepada dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus ketururnan.”
“terus?”
“Suatu hari,
keadaan alam menjadi sanat buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh
hari tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh Guntur dan
tipan angin yang cukup kencang. Tak seorang pun penduduk hulu dusun yang berani
keluar rumah, termasuk Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.”
“Terus, gimana?”
“Pada hari
ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah
habis. Untuk keluar rumah, mereka tak berani kaena cuaca sangat buruk. Akhirnya
petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk
dijadikan kayu bakar.” Reza diam sesaat. Mukanya berubah murung. (EKR:115)
Pada kutipan di atas, dijelaskan tentang
asal mula Naga Erau. Kutipan di atas menambah wawasan dan pengetahuan kita
mengenai asal mula Naga Erau. Pada zaman dahulu, di kampung Melanti, Hulu
Dusun, berdiamah sepasang suami istri, yakni Petinggi Hulu Dusun dan istirnya
yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut. Namn, mereka belum
juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada dewata agar dikaruniai
seorang anak sebagai penerus ketururnan. Suatu hari, keadaan alam menjadi sanat
buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir
menyambar silih berganti diiringi gemuruh Guntur dan tipan angin yang cukup
kencang. Tak seorang pun penduduk hulu dusun yang berani keluar rumah, termasuk
Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.Pada hari ketujuh,
persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk
keluar rumah, mereka tak berani kaena cuaca sangat buruk. Akhirnya petinggi
memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu
bakar.
Namun kutipan di atas tidak menjelaskan
secara keseluruhan mengenai asal usul Naga Erau, walaupun tidak secara lengkap.
Karena Reza mengigat akan ayahnya yang telah meninggal. Ayahnya yang sering
menceritakan kisah tersebut pada Reza.
“Itu namanya
Upacara Beluluh.” Mata Reza selalu
takluput dari arah lensa Kirana. “Menurut sejarah, upacara beluluh dilaksanakan untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan.
Mereka yang melaksanakan itu semuanya dari jajaran sultan-sultan Kutai.”
Sesekali Reza menggunakan ponselnya untuk melakuan hal yang sama dengan Kirana,
memotret. (EKR: 131)
Kutipan di atas menyinggung tentang
Upacara Beluluh. Menurut sejarah, upacara Beluluh dilaksanakan untuk memohon ke
keselamatan dan kesejahteraan. Mereka yang melaksanakan itu semuanya dari
jajaran sultan-sultan Kutai.
Menurut sumber data yang lain, Dalam
Upacara Ritual Beluluh yang dilakukan seorang Belian terhadap Raja/Sultan/Putra
Mahkota berperan mengucapkan doa memohon kepada yang maha kuasa guna
membersihkan diri dari unsur-unsur jahat, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud, maka akan diluluhkan di atas buluh/bambu dan sebagai pertanda
dimulainya pelaksanaan Erau Adat Kutai. Upacara Ritual Beluluh dilaksanakan
pada permulaan sebelum Erau Adat Kutai yang dilakukan setiap sore hari selama
Erau berlangsung.
3.
Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan
usaha antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui
berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat
kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai
macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke
hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu
keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan
digolongkan ke dalam tingkatantingkatan lokalitas geografis untuk membentuk
organisasi sosial dalam kehidupannya.
Kekerabatan berkaitan dengan pengertian tentang
perkawinan dalam suatu masyarakat karena perkawinan merupakan inti atau dasar
pembentukan suatu komunitas atau organisasi sosial.
4.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka
akan selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para
antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang
dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan
hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan demikian,
bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan hidup dan
teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
“Kirana tahu betul susahnya
jadi penumpang bus kota. Sudah pasti bus itu penuh sesak. Bukan lagi berebut
tempat duduk, mereka juga berebut tempat berdiri, bahkan menggantung di ujung
pintu bus!”
Kutipan di atas menggambarkan tentang
bagaimana susahnya menjadi penumpang bus kota. Tidak hanya berebut tempat
duduk, bahkan mereka (penumpang bus kota) berebut tempat berdiri. Ketika mereka
tidak mendapatkan tempat duduk maupun tempat berdiri, mereka akan menggantung
di ujung pintu bus. Dalam hal ini, transportasi berupa bis kota sudah ada di
kota tersebut.
“Menjelang senja, mobil Reza
melaju membelah kota Tanggarong. Ada Kirana di dalamnya. Gadis itu merasa
asing. Apalagi di bangku depan Pak Camat dan Reza masih berdiskusi soal
proposal yang diajukan Reza pada pihak hotel. Ridho tak henti-henti melirik
Kirana yang duduk di sampingnya.”
Pada kutipan di atas
menggambarkan situasi dan keadaan Kirana di atas mobil. Pak Camat dan Reza
sibuk brdiskusi soal proposal, Kirana merasa asing di dalam mobil tersebut, dan
Ridho yang tak henti-hentinya melirik Kirana. Dari kutipan di atas digambarkan
secara jelas transportasi, berupa mobil sudah ada di kota Kutai Kartanegara.
“Jenuh mulai melanda. Ia
menyentuh benda yang menjadi sahabat sejatinya saat bekerja, kamera DSLR. Tak
ingin melewatkan pemandangan indah di sepanjang jalan, tangannya mulai menekan
tombol shutter. Membidik beberapa sudut kota yang menurutnya bagus, pemandangan
bukit-bukit yang membentang, sungai ta berarus yang memanjang. Sejenak
pikirannya pelik yang mengganggunya seakan tenggelam ke dasar pikirannya.
Hanyut, tak menyisakan secuil pun bayangan.”
(Erau Kota Raja: 48)
Pada kutipan di atas
menggambarkan keadaan Kirana yang sudah mulai jenuh. Untuk menghilangkan
kejenuhannya, ia menyentuh kamera DSLR-nya. Memotret pemandangan indah di
sepanjang jalan, baik itu sungai maupun bukit. Namun sejenak pikirannya pelik,
kembali teringat akan kisah cinta yang terjalin empat tahun berakhir dalam
waktu empat menit. Kamere DSLR menunjukkan bahwa teknologi sudah sangat maju,
walaupun kamera tersebut dibawa dari Jakarta ke Tenggarong.
“Senyum tergurat dari bibir
Kirana. Matanya sediit mendelik. Ada sedikit rasa takut jika apa yang di
pikirannya benar. ‘emm…, maksudnya kita akan menyeberang ke sana dengan
kapal-kapal ini, gitu, Pak?”
“Ya, kamu benar. Ini jalan
pintas satu-satunya. Paling butuh waktu sepuluh menit untuk menyeberang.”
“mobilnya?”
“Mobilnya pasti ikut naik, lah. Makanya
jangan turun dulu sebelum moil masuk ke dalam kapal,” jelas Pak Camat dengan
santai. (Erau Kota Raja: 49)
Pada kutipan di atas,
Kirana bertanya kepada Pak Camat,”kita akan ke sana dengan kapal-kapal ini,
gitu, Pak?”. Dalam hal transportasi, di kota Kutai Kartanegara tidak hanya
terdapat mobil, bahkan di sana juga ada kapal-kapal sebagai sarana
transportasi. Kapal-kapal digunakan untuk menyeberangi sungai. Bukan hanya
menyeberangkan orang-orang, akan tetapi beserta dengan kendaraan yang
digunakannya saat itu.
“Tampak juga beberapa
burung yang memilih bercengkrama di dahan yang sama, tak beranjak menikmati
fajar. Entah apa yang sedang mereka gosipkan, mungkin membicarakan para manusia
yang berjalan-jalan di bawah dahan yang mereka singgahi. Maklum, pagi itu desa
sudah mulai sibuk. Ada yang berjalan kaki, naik sepeda, pun beberapa mobil yang
lewat.” (Erau Kota Raja: 68)
“Kirana, kita ke kantor
sekarang. Deket, kok, kantornya”
“Bapak naik sepeda?
Kirana heran, heran dengan pekerja yang masih mengandalkan sepeda ke tempat
kerja di zaman sekarang.”
“Di Jakarta, Kirana
biasa naik taksi online. Ojek jadi alternat kalau sudah terjebak macet, meski
ojek yang membuatnya penat karena terkena asap polusi…” (Erau Kota Raja: 69)
Masyarakat
pedesaan di Kutai Kartanegara sudah ada yang memiliki mobil. Tidak hanya mobil,
akan tetapi ada mereka juga menggunakan sepeda bahkan ada yang berjalan kaki. Bahkan
Pak Camat masih menggunakan sepeda untuk berangkat kerja di kantor desa. Hal
ini seperti yang kita lihat di desa-desa yang pada umumnya sudah tersentuh
dengan teknologi. Meski tak se-maju dengan yang ada di Jakarta yang sudah ada
Taksi Online.
“Mata
Kirana tertuju pada kapal-kapal besar di tengah sungai. Kapal-kapal tongkang
yang mengangkut batu bara layaknya bukit-bukit yang berjalan di atas air…”
(Erau Kota Raja: 72)
Pada kutipan di
atas, kapal-kapal yang ada di kota Kutai Kartanegara tidak hanya digunakan
untuk alat transportasi, namun juga ada kapal-kapal yang mengangkut batu bara.
“kok bisa yah ada pulau di tengah
sungai? Biasanya pulau, kan, ada di tengah laut. Apalagi jadi tempat wisata
emang pulau ini nyguhin apaan aja”?
5.
Sistem Ekonomi/Mata Pencaharian
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus
kajian penting etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian
mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem
perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
“Oh iya, Pak,
para penduduk di sini kerjanya apa?” Tanya Kirana, tak mau kehabisan pertanyaan
untuk diajukan kepada pak Camat.
“Ada yang
petani, karyawan, juga nelayan.” Jawab Pak Camat. (Erau Kota Raja: 71)
“Tak lama, Pak
Camat mengajaknya berbelok ke sebuah tempat. Di halamannya, terdapat papan
dengan tulisan “Kantor Camat”. Sudah banyak orang yang berdatangan, baik dari
para pegawai instasi pemerintah maupun orang-orang yang mempunyai urusan dengan
pihak kecamatan, sampai sekumpulan pemuda pemudi di bagian dalam kantor
kecamatan.” (Erau Kota Raja: 73)
“Tak lama
kemudian, dia keluar pintu dan membawa dua buah bungkusan cukup besar. Isinya
cedera mata khas Kutai Kartanegara yang diproduksi oleh ibu-ibu pemilik rumah
di sekitar situ.” (EKR: 78)
Pada kutipan di atas, menunjukkan bahwa
masyarakat Kutai Kartanegara pada umumnya bekerja sebagai karyawan, petani, dan
juga nelayan. Adanya kantor camat di sebuah desa menandakan bahwa beberapa masyarakat
pedesaan bekerja sebagai pegawai kantor. Di desa itu juga sebagian
masyarakatnya bekerja sebagai pengrajin, membuat cindera mata khas Kutai
Kartanegara. Hasil kerjaninan tangan tersebut dibawa ke kota kemudian dijual.
6.
Sistem Religi
Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula
permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa
manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau supranatural yang
dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa manusia itu melakukan
berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan
kekuatan-kekuatan supranatural tersebut.
Tidak ditemukan adanya kutipan mengenai sistem religi ataupun kepercaaan
masyarakat kota Kutai Kartanegara pada novel Erau Kota Raja.
7.
Kesenian
Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian
etnografi mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi
yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau
artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan
etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada
teknikteknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi
etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan
seni drama dalam suatu masyarakat.
“Pak Camat hanya
mengangguk. Kirana langsung membidik para penari yang sedang latihan. Ada enam
orang. Melihat ketertarikan Kirana, Pak Camat langsung memberikan penjelasan.
“Itu tari Jepen. Suka?” kata Pak Camat
“Suka sekali,
Pak, sangat dinamis. Asli Kutai Kartanegara, Pak?”
“Tentu. Itu
salah satu tarian kebanggan kami. Tarian Jepen dipengaruhi budaya Melayu dan
Islam. Jenis tarian pergaulan dan meang ditarikan berpasang-pasangan. Hampir di
setiap desa ada kelompok tari seperti ini. Kami memang berharap pemuda pemudi
di kutai mau mempelajari dan melestarikan keseniannya sendiri.” (Erau Kota
Raja: 73-73)
“Kalau
musiknya, Pak? Khas juga, ya?”
“Oh,
iya, itu namanya music tingkilan. Khas kutai juga. Alat musiknya seperti
ukulele, semacam gitar kecil begitu. Tapi suaranya khas, berbeda.” (Erau Kota
Raja: 74)
Dalam kutipan di atas membahas mengenai
tari Jepen. Tari Jepen adalah tarian khas Kutai. Salah satu tarian kebanggaan
masyarakat Kutai. Tarian Jepen dipengaruhi budaya Melayu dan Islam. Jenis
tarian pergaulan dan memang ditarikan berpasang-pasangan. Hampir di setiap desa
ada kelompok tari seperti ini. Kami memang berharap pemuda pemudi di Kutai mau
mempelajari dan melestarikan keseniannya sendiri.
Tari Jepen memiliki kemiripan dengan kesenian tari dari daerah
lain di Nusantara, seperti Tari Zapin di Sumatera, tari Dana, tari Bedana atau tari Zevin yang
semuanya berasal dari masyarakat suku Melayu yang tinggal tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lain di Nusantara. Tari Jepen ini, yang biasanya diiringi oleh musik
tradisi yang disebut Tingkilan,
memiliki ciri khas ragam gerak yang tidak dimiliki oleh tari sejenis di daerah
lain. Ragam gerak dalam tari Jepen dipengaruhi oleh kondisi dan letak
geografis daerah Kutai.
Tari Jepen memiliki kemiripan dengan kesenian tari dari daerah
lain di Nusantara, seperti Tari
Zapin di Sumatera, tari Dana, tari
Bedana atau tari Zevin yang semuanya berasal dari masyarakat suku Melayu yang tinggal tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan
pulau-pulau lain di Nusantara. Tari
Jepen ini, yang biasanya diiringi oleh musik tradisi yang disebut Tingkilan, memiliki ciri khas ragam gerak yang tidak dimiliki oleh
tari sejenis di daerah lain. Ragam gerak dalam tari Jepen dipengaruhi oleh
kondisi dan letak geografis daerah Kutai. (https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Jepen
diakses 07 Desember 2017)
“…Mobil pun
sekarang sudah penuh dengan barng-barang. Ada manik-manik, baju, tas, dan
kerajinan tangan lainnya.”
“…Iseng, Kirana
mengambil satu barang, hiasan dari manik-manik. Sungguh unik menurutnya. Dia
pusing melihat benda-benda unik seperti itu, pusing memikirkan cara
membuatnya.” (EKR: 79)
Hasil kerajinan tangan dari Kutai berupa
manik-manik, baju, tas, dan juga kerajinan tangan lainnya. Kerajinan tangan
tersebut dibuat oleh ibu-ibu yang tinggal di pedesaan, dibimbing langsung oleh
ibu-ibu Dharma Wanita. Hasil kerajinan tang tersebut kemudian dibawa ke kota
untuk dijual.
Kemudian turis
itu melanjutkan pertanyaannya, “Bagaimana tentang…kalung un…uncal? Benar begitu
namanya?”
“iya, benar.”
Reza panjang lebar menjelaskan bahwa kalung uncal adalah salah satu benda
paling berharga di Museum Mulawarman. Merupakan satu dari dua kalung serupa
yang ada di dunia. Yang lainnya berada di India. Menurut cerita Ramayana,
kalung yang terdapat di India adalah miliki Rama, sedangkan yang di Museum
Mulawarman merupakan milik Shinta.” (EKR: 86)
Beberapa turis bertanya beberapa hal
kepada Reza. Salah satunya mengenai Kalung Uncal. kalung uncal adalah salah
satu benda paling berharga di Museum Mulawarman. Merupakan satu dari dua kalung
serupa yang ada di dunia. Yang lainnya berada di India. Menurut cerita
Ramayana, kalung yang terdapat di India adalah miliki Rama, sedangkan yang di
Museum Mulawarman merupakan milik Shinta.
Salah
satu pusaka Kerajaan Kutai adalah Kalung Uncal – yaitu kalung berbentuk buklat
panjang 9 cm terbuat dari bahan emas muda (18 karat). Terdapat ukiran Dewi
Sinta dan Sri Rama memanah babi, pada bagain kalung terdapat juga empat buah
bulatan yang dua diantaranya berhiaskan permata. Kalung ini menetukan sah atau
tidaknya pelantikan seorang raja Kutai.
Konon kalung
uncal ini asalnya dari India dan hanya ada sepasang di dunia ini sebab dahulu
kalung ini satu punya SRI RAMA, satunya punya DEWI SHINTA. Ketika Sri
Rama dapat merebut kembali Dewi Sinta isterinya dari RAHWANA dia meragukan
apakah isterinya masih suci dan tidak diganggu oleh Rahwana. Kecurigaannya ini
cukup beralasan karena kalung Uncal lambang kesucian itu telah hilang dari
leher Dewi Sinta. (https://folksofdayak.wordpress.com/2014/03/18/kalung-uncal-pusaka-kerajaan-kutai/ diakses 07 Desember 2017)
“Itu namanya patung Lembuswana. Konon
patung itu raksasa itu terbuat dari bahan tembaga buatan seniman Bali bernama
Nyoman Sunatra. Lembusnawa sendiri dipercaya sebagai tunggangan Raja Mlawarman
sekitar seribu lima ratus tahun lalu. Bentuknya sedikit aneh karena berbelalai
seperti gajah, tapi tak bertelinga besar. Bertaring dan bertaji seperti ayam.”
(EKR: 119)
Patung
Lembuswana adalah patung raksasa terbuat dari bahan tembaga buatan seniman
Bali. Berbelalai bukan gajah,
bertaring bukan harimau, bertaji bukan ayam. Legenda kemunculannya di Sungai
Mahakam ratusan tahun silam menjadikannya simbol Kerajaan Kutai Kartanegara. Sosok
berwarna keemasan nan berkilau ditempa matahari itu menjadi ikon penanda di
halaman depan Museum Mulawarman, Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur. Patung satwa itu berbadan kuda yang berisisik dan bertaji. Kemunculan
Lembuswana ini kerap dihubungkan dengan kisah lahirnya Putri Karang Melenu yang
muncul bersama satwa mitologi itu dari dasar Sungai Mahakam. Kelak sang putri
menikah dengan Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dari sang putri itu dilahirkan
penerus dinasti raja-raja Kutai Kartanegara. Leluhur warga Kutai mempercayai
bahwa Sang Lembuswana merupakan tunggangan Mulawarman, yang bertakhta sebagai
raja Kutai sekitar 1.500 tahun silam. Tampaknya mirip dengan sebagian besar
penganut Shiwa di Nusantara, bahwa lembu merupakan kendaraan Dewa Shiwa: Raja
Majapahit pun dilambangkan sebagai Shiwa pula. Satwa mitologi ini telah menjadi
simbol keperkasaan dan kedaulatan seorang penguasa. Unsur belalainya menandakan
bahwa satwa ini juga perlambang sosok Ganesha, Dewa Kecerdasan.
“…Mereka
melewati pedagang makanan khas Kutai. Kirana membeli dodol khas Kutai. Dia
ingin tahu seperti apa rasanya.” (EKR:135)
Kota
Kutai memiliki makanan khas yaitu dodol. Ada berbagai macam bahan baku untuk
membuat dodol khas Kutai, misalnya bahan baku buah nipah dan bahan baku papaya.
Pembuatan dodol buah Nipah hampir sama
dengan pembuatan Dodol pada umumnya, hanya saja bahan baku yang digunakan
adalah Buah Nipah, selain dibuat Dodol buah Nipah.
Dodol itu dinamakan Dodol Pepaya "Enggang", dikemas dalam
kardus kecil ukuran 150 gram. Teksturnya kenyal, dan rasanya manis. KUB Redan
Prima membuat dodol sejak tahun 2005, dan salah satu dodol yang dibuat adalah
dodol pepaya. Ini bermula dari panen pepaya asal Kutai Timur banyak yang tidak
tertampung pasar. Petani tak bisa menentukan harga, dan tengkulak membeli
murah.
D.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil analisis yang dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa lima dari tujuh unsur kebudayaan ditemukan pada novel Erau
Kota Raja karya Endik Koeswoyo. Dua unsur kebudayaan yang tidak terdapat pada
novel tersebut adalah sistem bahasa,
sistem kekerabatan, dan sistem religi.
Adapun sistem pengetahuan pada novel Erau
Kota Raja, antara lain: Di Kutai, ada tradisi tidak boleh
menolak kalau diajak makan. Tuan rumah akan merasa sangat terhormat jika
tamunya mau makan, walaupun sedikit. Begitu juga sebaliknya, kalau nggak mau
makan, bisa jadi dianggap kurang sopan; pengetahuan tentang sungai Mahakam;
pengetahuan tentang Muara Kaman; pengetahuan tentang binatang khas Kalimantan;
pengetahuan tentang sejarah Erau; pengetahuan tentang sejarah Naga Erau;
pengetahuan tentang dan Upacara Beluluh.
Dari sistem peralatan hidup masyarakat
Kutai yang terdapat dalam novel Erau Kota Raja antara lain: mobil, kamre LDSR,
kapal-kapal, dan sepeda.
Dari sistem ekonomi/mata pencaharian
masyarakat Kutai pada novel Erau Kota Raja antara lain: masyarakat Kutai
Kartanegara pada umumnya bekerja sebagai karyawan, petani, dan juga nelayan.
Adanya kantor camat di sebuah desa menandakan bahwa beberapa masyarakat
pedesaan bekerja sebagai pegawai kantor. Di desa itu juga sebagian
masyarakatnya bekerja sebagai pengrajin, membuat cindera mata khas Kutai
Kartanegara. Hasil kerjaninan tangan tersebut dibawa ke kota kemudian dijual.
Dari hasil kesenian Kutai dalam novel
Erau Kota Raja, antara lain: tari jepen, musik tingkilan, ukulele, manic-manik,
baju, tas, museum Mulawarman, kalung uncal, patung lembuswana, dan makanan khas
Kutai yaitu dodol.
Hasil analisis novel Erau
Kota Raja
ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, agar dapat mengetahui kebudayaan dan kesenian yang terdapat di kota Kutai
Kartanegara yang
terdapat dalam novel. Penelitian ini diharapkan dimanfaatkan sebagai alternatif
bahan pengajaran Manusia dan Kebudayaan, yaitu: membantu keterampilan
berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan
menunjang rasa keingintahuan tentang budaya
yang ada di Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Koeswoyo, Endik. 2015. Erau KotaRaja. PING!!!Jogjakarta
Marsanti , PE; Suyitno, dan Wardani, EN. 2012 Jurnal
Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya.
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra. Yayasan Pustaka
Obor Indonesia: Jakarta